Kamis, 12 November 2015

Legenda Sepotong Cinta


“Kau tak bisa menikahiku, Sangkuriang!” ujar seorang gadis cantik dengan kebayanya yang anggun, raut wajahnya tampak sedikit memohon.
            “Kenapa  tidak, Dayang? Bukankah kita saling mencintai?” jawab sang pemuda berperawakan gagah bak ksatria yang selalu diceritakan di dongeng-dongeng zaman dulu.
            Gadis itu hanya menatapnya dalam kebisuan. Bola matanya yang terang mulai di penuhi tetesan bening laksana embun pagi. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ah mengapa cinta harus datang di tempat yang tak seharusnya ia ada? Mengapa sang nurani ini ikut bimbang atas rasa yang tak pernah di undang? Tidak! Nurani tak boleh ikut serta dalam hal ini, ia harus menggunakan logikanya kali ini. Gadis itu menarik nafas perlahan. Menatap dalam sepasang mata yang dulu dicarinya.
            “Karena aku adalah ibumu, Sangkuriang! Dan rasa cintaku yang tengah ku rasakan padamu ini bukan cinta seorang gadis kepada kekasihnya, tapi ini cinta seorang ibu pada anaknya. Kau mengertikan?” pemuda tampan yang bernama Sangkuriang itu terdiam. Ini tidak mungkin!
            “Hahaha, kau fikir aku mempercayaimu hah? Kau berbohong Dayang!  Mana mungkin kau ibuku, kau tau? Ibuku telah tiada dan kalaupun dia ada sekarang, parasnya tak mungkin serupawanmu, Dayang!” Sangkuriang tak menggubris apapun yang di katakana gadis jelita itu. Nampaknya nurani Sangkuriang telah buta akan cinta yang teramat mendalam pada gadis desa itu.
            Dayang Sumbi masih tetap diam, tak lagi berbicara sepatah katapun. Jiwanya remuk, hancur berkeping-keping,. Nuraninya terhunus tajam. Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Dia terus saja bergumam dalam hatinya, menuntut Tuhan untuk segera mengeluarkannya dari jeruji ini. Terlalu rumit, dan harusnya tak seperti ini.
            Mereka berdua saling bertatapan, saling menerka perasaan masing-masing. Ini bukan sekedar cinta terlarang, tapi ini juga soal keyakinan. Bagaimanapun juga, Dayang Sumbi harus bisa membuat pemuda itu percaya akannya dan berhenti untuk mencintainnya seperti ini. Karena mereka tak tercipta dari senja yang sewarna, dan Dayang Sumbi tahu, ia tak akan mungkin bisa menggandakan warna senja itu. Atmosfer kegundahan masih menyelimuti mereka berdua. Tuhan tengah membolak-balik perasaan mereka saat ini.
Œ
            Kau tau? Ini merupakan kisah terpopuler dari Tanah Sunda, kisahnya tak pernah luntur dari nurani masyarakat sunda sekitar. Ia selalu terkenang sepanjang masa. Kisah ini selalu diceritakan dari generasi ke generasi, entah sudah berapa generasi yang masih mengenang kisah cinta ini. Ini bukan hanya sekedar legenda, tapi juga mengajarkan kita tentang kemana cinta seharusnya berlabuh.
Ya, ini kisah tentang seorang gadis cantik yang selalu menghabiskan waktunya dengan merajut. Ya, dan sebuah skenario baru telah tercipta untuknya setelah itu. Kemudian, takdir Tuhan yang tak mungkin di tepisnya jauh, ia jalani dengan penuh keikhlasan, meski pada akhirnya ia sadar, masa tak pernah berada di pihaknya.
Œ
            Sang raja siang masih setia menyinari bumi dengan hangat sinarnya, dan langit di atas sana selalu biru akhir-akhir ini, tak  ada kabut yang menutupinya. Awan-awan putih juga ikut memberikan ukiran dan ornament yang indah pada sang langit. Mugkin itu menjadi salah satu alasan, mengapa bumi tak akan pernah sama dengan langit. Langit selalu pandai mengekspresikan  dirinya setiap saat, tak seperti bumi yang tetap seperti itu. Dan diantara hamparan bumi yang begitu luas itu, hidup seorang gadis cantik jelita.
Gadis itu tengah asyik merajut. Namun, tiba-tiba saja bola rajutan itu terjatuh dari tangannya entah kemana, dan entah apa yang merasuki fikirannya saat itu. Ia berteriak meminta tolong kepada orang-orang yang  ada disekitar rumahnya, emosinya tak terkontrol begitu saja. Mungkin keadaan hatinya tengah kacau sekali.
Bahkan ia bertekad dalam dirinya, bahwa siapa saja yang dapat menemukan bola rajutan itu, jika ia perempuan akan di jadikannya sebagai saudara dan jika ia laki-laki maka ia akan di jadikkannya sebagai suami. Saat tekad itu terucap dalam nuraninya, terdengar suara kilat yang menggelegar, entah apa maksud dari suara itu. Yang jelas, ia teramat sangat terkejut. AAh, tak biasanya ia seperti ini karena hanya kehilangan bola rajutan saja, bukankah ia bisa membelinya lagi? EEntahllah!
            Di tengah kegundahan nuraninya itu, seekor anjing berserta bola rajutan miliknya datang. Anjing itu bernama Tumang, dan ternyata ia bukan anjing biasa, ia merupakan jelmaan dari sang pangeran yang tampan dari kerajaan Kahyangan. Dan entah bagaimana jalinan cinta itu terjadi antara keduanya, aku tak tau. Mereka saling mencintai satu sama lain, dan gadis itu harus menepati janjinya bukan? Tentu, merekapun menikah pada akhirnya dan hidup bahagia di sebuah rumah sederhana di tengah hutan.
            Akan tetapi, ini bukan akhir dari kisah ini. Kebahagiaan dalam pernikahan mereka merupakan awal dari kisah ini di mulai, karena sepertinya takdir Tuhan tak menghendaki kebahagiaan mereka berlangsung lama. Meski pada awalnya kebahagiaan mereka bertambah tatkala Dayang Sumbi melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan dan gagah seperti ayahnya, sayangnya bayi laki-laki itu menjadi boomerang untuk keluarga mereka nantinya.
            Roda waktu terus berputar di setiap kali mata ini berkedip, di setiap nafas yang berhembus,  layaknya siang dan malam yang selalu berganti setiap harinya. Kini, bayi laki-laki itu telah tumbuh menjadi anak laki-laki yang pintar dan pemberani, anak laki-laki itu bernama Sangkuriang. Setiap harinya ia selalu berburu ke hutan dan mencari buah-buahan untuk di makan di temani Tumang anjingnya. Sangkuriang tak pernah tahu anjing yang selalu bersamanya itu adalah ayah kandungnya.
              Pada suatu hari, tak seperti biasanya hutan tampak sepi sekali, entah ada angin apa yang membuat suasananya seperti kuburan. Tak ada tanda-tanda hewan berkaki empat hidup di sini. Aneh! Sepasang mata milik Sangkuriang kecil masih terus waspada, kedua bola matanya masih terus bergerak mengawasi sekitar hutan, berharap seekor kijang dapat di burunya kali ini. Setelah sekian lama mencari, akhirnya  ekor mata milik Sangkuriang menangkap dengan jelas binantang yang tengah diincarnya itu datang mendekat. Sangkuriang tak bergerak sedikitpun. Ia tak mau buruannya kabur karena suara langkahnya.
            Detak jantung Sangkuriang terdengar lebih keras dari biasanya, nafasnya tak teratur. Aliran darahnya ikut mengalir cepat. Sangkuriang memang sudah tak sabar menghunuskan anak panahnya itu. Saat seekor kijang mulai dekat dengan posisi tempatnya berdiri, ia segera melepaskan anak panahnya pada objek yang diincarnya. Ah sial! Anak panah itu melesat jauh ternyata.
            “Hey, Tumang! Kejar kijang itu!” sentak Sangkuriang.
            Anjing itu mengejar buruannya diikuti anak lelaki tadi. Mereka terus berlari tanpa hentinya. AAh, kemana kijang itu? kenapa ia tak terlihat juga? Sangkuriang  menyerah. Ia tak sanggup lagi berlari lebih jauh dari ini. Nafasnya tak teratur. Peluh sudah membanjiri tubuhnya.
            “Sial! Kita kehilangan  jejaknya, Tumang!” keluh Sangkuriang sembari menyeka peluh yang terus saja keluar.
            Sangkuriang mulai khawatir, hari mulai gelap dan ia tak mendapatkan binatang buruan satupun. Ibunya pasti lama menunggu. Ia tak mungkin pulang dengan tangan kosong, ibunya akan kelaparan, begitupun juga dengannya. Sangkuriang termenung diam, ia mulai memutar otaknya. Mencari jalan keluar. Dan tiba-tiba saja akal picik Sangkuriang mulai merajai fikirannya. Ia melirik Tumang yang masih kelelahan berdiri disampingnya. Tanpa fikir panjang, dan tanpa mempertimbangkan apapun, di tancapkannya pisau tajam tepat di jantung anjing itu.
            Tumang meraung kesakitan. Berharap Sangkuriang melepaskan pisaunya. Tapi, Sangkuriang tak memperdulikan anjing itu. Ia membunuh Tumang tanpa belas kasihan sedikitpun. Toh, Tumang hanya seekor anjing peliharaannya, dan ia hanyalah seekor binatang. Sangkuriang mencoba meyakinkan dirinya, bahwa apa yang ia lakukan adalah benar adanya.
ŒŒŒ
            “Kau baik-baik saja, Sangkuriang?” wajah itu tampak khawatir sekali saat anak lelakinya datang.
            “Kau tak perlu menghawatirkanku seperti itu, ibu! Aku sudah besar” Sangkuriang tersenyum.
            “Tapi, tak biasanya kau pulang selarut ini” air mukanya masih tetap sama. Sama khawatirnya.
            “Lalu, dimana Tumang?” Sangkuriang diam. Kedua alisnya mengerut, menatap Sangkuriang penuh curiga.
            “Ayolah bu, jangan berlebihan seperti itu, Tumang sedang bermain bersama kawanan anjing yang lain, nanti juga dia pulang sendiri. Lebih baik ibu masakkan daging kijang ini untuk makan kita, ya bu?” nada terakhir ucapannya itu sedikit memelas, Sangkuriang masih tetap dengan senyumannya, berharap ibunya mau percaya.
            “Baiklah, ayo masuk! Ibu akan memasakannya untukmu” raut wajahnya kini berubah, menjadi sangat teduh dan penuh dengan senyuman. Ah akhirnya !
ŒŒŒ
            Rumah ini memang terlampau sederhana, dinding-dindingnya terbuat dari kayu, meski begitu atmosfer dalam rumah ini selalu stabil. Maksudku, iklimnya selalu hangat dan tenang. Itu mungkin karena kehidupan disini selalu penuh kedamaian dan cinta antara anak dan ibu.
            Sayangnya, tidak dengan malam ini, bahkan langit juga seperti larut dalam suasana rumah. Memang terlihat tampak damai diantara keduanya, padahal Dayang Sumbi masih tetap dengan kekhawatirannya. Dan Sangkuriang mencoba menutupi kebohongannya,
            “Sangkuriang, daging apa ini? Rasanya berbeda dengan daging kijang yang sering kau bawakan untukku” Sangkuriang tiba-tiba saja tersedak, ia segera meminum segelas air putih yang ada di dekatnya.
            “Kau menyukainya ibu” Tanya Sangkuriang terbata.
            “Tentu, nak! Rasanya lezat sekali” wanita itu menyeringai dengan hangat.
            “Ah syukurlah, kau menyukainya ibu. Itu daging Tumang” nampaknya kalimat itu mengalir dengan jelas dari bibir Sangkuriang, lantas orang yang diajaknya bicara menatap Sangkuriang geram. Raut wajahnya bermetafosis 180 derajat dari sebelumnya. Amarahnya mulai meledak-ledak siap untuk dikeluarkan.
            “APA KAU BILANG? Tega sekali kau bunuh Tumang!” Pekik Dayang Sumbi.
            “tapi dia hanya seekor anjing ibu! Mengapa kau lebih peduli pada anjing itu, hah?” tukas Sangkuriang. Amarah Dayang Sumbi mulai bergejolak, ada tangis yang mengiringi.
            “tidak Sangkuriang! Dia ayahmu, ayah kandungmu” ujar Dayang Sumbi di sela tangisnya.
            “tidak mungkin, ibu! Kau berbohong, kau bohong!” Dayang Sumbi menatap Sangkuriang kecewa. Sebuah sisir kayu yang ada di atas meja, di ambilnya.
            Amarah itu telah merajai hati Dayang Sumbi. Tak ada ampun untuk Sangkuriang, sisir itu di lemparnya mengenai kepala Sangkuriang. Sangkuriang mengaduh kesakitan.
            “baik, sekarang kau angkat kaki dari rumah ini! Dasar anak durhaka!” pekik Dayang Sumbi. Sangkuriang menatap ibunya sekejap. Nuraninya hancur berkeping-keping. Dengan tangis yang mengiringi Sangkuriang pergi meninggalkan rumah itu. Ia berjalan sendiri di tengah malam yang dingin dan derasnya hujan. Hatinya terluka sangat parah. Namun ia tak bisa menyalahkan keadaan, karena bagaimanapun juga ini adalah kesalahannya.
            Sedangkan di rumah itu, Dayang Sumbi masih menangis sejadi-jadinya meratapi nasibnya yang menyedihakan. Ada sedikit sesal dalam lubuk hatinya. Ia seharusnya tak bersikap seperti itu pada Sangkuriang. Tapi nasi telah masak menjadi bubur. Ia tak mungkin mengembalikan waktu yang telah tertoreh. Ini sudah menjadi bagian dari scenario-Nya.
ŒŒŒ
            Lalu bagimana setelah ini? Konon katanya saat Dayang Sumbi tengah terlelap dalam tidurnya. Sang pangeran datang di mimpinya. Ia masih seperti dulu, tampan dan gagah.
            “jangan khawatir isteriku, kau tak akan kehilanganku sampai kapanpun juga, karena aku selalu ada disini, di hatimu” Dayang Sumbi menatapnya ragu. Sang pangeran mendekatinya, lantas ia membelai rambutnya penuh cinta.
            “hati dari Tumang yang kau makan itu akan membuatmu tetap awet muda sampai kapanpun, dan pada saatnya nanti kau akan bertemu dengan Sangkuriang” tangan Dayang Sumbi di pegangnya erat. Sang pangeran mencoba meyakinkannya. Dayang Sumbi pun tersenyum, ia memeluk erat suaminya itu.
            Dan sejak saat itu Dayang Sumbi tak pernah tua. Ia akan tetap awet muda sampai kapanpun juga.
ŒŒŒ
            Bumi akan terus berputar, siang dan malam akan terus bergulir, berganti .dengan senang hati mengikuti aturan Sang Pencipta. Ayam masih berkokok seperti biasa dan burung selalu bersenandung syahdu. Tak ada yang berbeda dari hutan ini, masih tetap sama seperti beberapa belas tahun kemarin.
            Namun zaman akan terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi yang banyak ditemukan oleh banyak ilmuwan dari berbagai belahan dunia. Tapi mungkin hal itu tak terlalu berlaku untuk sebuah rumah sederhana yang masih dengan dinding yang sama terbuat dari anyaman rotan, dan atap yang terbuat dari daun-daun kelapa yang mengering. Sangat sederhana sekali, dan mungkin rumah itu tak layak lagi di tempati oleh seorang wanita cantik nan baik hati.
            Rumah ini memiliki banyak sejarah bagi wanita itu. Mungkin itu salah satu alasan mengapa ia tak mau meninggalkan rumah ini. Di pekarangan rumahnya ia selalu duduk termenung. Menanti sosok yang telah lama lenyap dari pandangan matanya. Sosok yang dulu pernah di marahinya. Wanita itu benar-benar merindukan sosok itu.
            Hingga pada akhirnya, waktupun berbicara. Skenario itu telah tercipta sebelumnya. Seorang pemuda gagah berani dari desa sebrang datang berkelana ke hutan dimana wanita itu berada. Mereka berdua tak sengaja berjumpa di sana. Kedua mata mereka saling berbicara. Pemuda gagah dan tampan itu jatuh cinta pada pandangan pertama pada wanita tadi. Mungkin ini yang selalu di pergunjingkan orang-orang tentang rasa yang datang dari mata lalu turun ke hati.
              Kau tau? Cinta diantara mereka tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Mereka seolah diciptakan Tuhan untuk bersama. Menjalin kasih dan berbagi rasa yang mereka sebut dengan cinta. Namun masa tak pernah membiarkan rasa itu abadi dan bertengger lama di dahan hati mereka. Seperti keindahan senja yang hanya dapat dinikmati untuk waktu yang singkat.
            Setelah sekian lama hubungan asmara mereka terjalin, pemuda dari desa sebrang yang mungkin dari desa entah berantah itu berniat meminangnya. Sebelum jawaban itu terucap dari sang wanita, ia meminta wanita berparas anggun itu untuk membuka ikat kepala milik dirinya. Ia ingin wanita itu melihatnya dengan apa adanya ia sekarang, dari atas hingga bawah. Ia tak ingin menutupi segala kekurangannya atau apapun itu dari wanita yang dicintainya.
            Sayangnya, seketika itu juga raut wajah wanita bernama Dayang Sumbi itu menjadi muram, cahaya yang terpancar dari wajahnya seketika redup. Kedua alisnya mengerut, matanya tertuju pada sebuah luka di atas kepala pemuda gagah itu. Luka itu sama persis di tempat yang sama ketika ia memukul Sangkuriang, anaknya beberapa belas tahun yang lalu.
            “Luka apa ini?” tanyanya penuh dengan kecemasan yang luar biasa.
            “Ini hanya luka biasa, aku lupa karena apa, tapi sejauh yang ku ingat luka ini sudah ada sejak aku kecil” Dayang Sumbi tertegun. ztak mungkin! Dayang Sumbi menatap lekat kedua mata pemuda yang ada di hadapannya. Ia tak salah, dugaannya benar. Pemuda ini adalah Sangkuriang, anaknya yang hilang dulu. Ia tak mungkin salah, firasatnya selalu benar.
            Detik itu juga, dunia seolah ambruk seketika. Bukan bahagia yang ia rasa, melainkan kegundahan hebat yang menyelimuti nuraninya. Ia tak mungkin mencintai anaknya sendiri. Paradoks kali ini benar-benar absurd. Penuh dengan euforia. Tubuhnya seakan dilempar dan dihempaskan dengan keras, membangunkannya dari mimpi indah kemarin. Ini nyata!
ŒŒŒ
            “Baiklah, aku mau menjadi isterimu! Tapi dengan satu syarat” Sangkuriang menyeringai penuh kemenangan.
            “Apa itu?” nadanya terkesan sangat angkuh.
            “Aku ingin kau membuatkan perahu yang cantik dan sebuah danau untuk kita berlayar nanti dalam satu malam, kau sanggup?”
            “Tentu Dayang, dengan senang hati aku akan melakukannya untukmu” Sangkuriang pun berlalu setelah menyanggupi semua syarat yang diajukan oleh Dayang Sumbi agar ia bisa menikahi Dayang Sumbi. Dayang Sumbi tak tahu bahwasannya Sangkuriang bukanlah pemuda biasa. Ia amat perkasa dan mempunyai ribuaan jin yang akan membantunya memenuhi syarat itu.
            Sedangkan hati Dayang Sumbi teramat kalut dan bimbang, ia seolah sedang mengahadapi sejuta pilihan di depannya. Takdirnya seolah sedang di undi, di bolak-balik bagaikan sebuah dadu yang siap di gulirkan begitu angka itu muncul, takdirnya pun terbuka. Bibirnya terus berkomat-kamit memanjatkan do’a kepada yang Maha Kuasa, memohon agar anaknya gagal, dan tak jadi menikahinya. Ia ingin kehidupannya kembali normal seperti sedia kala. Harap cemas, menyelimuti hatinya. Bagaimanapun dilubuk hati yang terdalam ia jah hati pada putranya, tapi ia akan tetap menjadi ibu untuk Sangkuriang. Bukan sebagai isteri seperti yang diinginkan Sangkuriang atasnya.
ŒŒŒ
            Kirana mentari telah tergantikan oleh kirana rembulan yang terang benderang di hamparan langit yang hitam dengan taburan bintang yang berkelap-kelip. Hewan yang aktif mencari makan di malam hari mulai keluar dari tempatnya setelah tidur mereka yang panjang di siang hari. Suara burung hantu mulai bersautan, malam semakin larut.
            Dan disana, di tengah hutan sana seorang pemuda dengan ambisinya yang kuat tengah membangun sebuah danau yang luas, dan perahu yang sangat besar nan indah untuk memenuhi syarat yang di ajukan oleh wanita yang dicintainya.
            Pasukan jin masih sibuk dengan tugas mereka masing-masing, dan pemuda itu hanya berdiri, mengawasi setiap gerak-gerik yang dilakukan prajuritnya. Matanya masih terjaga. Tak sedikitpun ia terlelap. Ia tau, ia pasti bisa menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari terbit nanti.
            Masih di tempat yang sama, hanya saja jaraknya berbeda. Sekitar 5 m dari tempat pemuda itu berdiri, di belakang sebuah pohon mahoni yang besar, seorang wanita berdiri, mengamati apa yang dilakukan pemuda itu. Degup jantungnya keras sekali. Aliran darahnya menjalar cepat. Wajahnya Nampak pucat. Ia khawatir, cemas dan gelisah tak karuan. Wanita itu berfikir keras, mencari cara untuk mengagalkannya.
Ia berlari menuju ketempat perkampungan, membangunkan para gadis desa, meminta bantuan mereka untuk mengagalkan Sangkuriang. Malam itu serempak seluruh gadis desa disana menumbuk padi, membuat suara yang saling bersautan. Bertalu-talu saling berirama, membangunkan sang raja fajar, mengira bahwasannya mentari telah terbit. Kokok ayam pun berbaur dengan suara orang-orang yang menumbuk pagi itu, padahal mentari masih terlelap, dan belum juga muncul.
Sebagian perempuan yang lain mengibaskan selendang warna-warni berwana orange dan kuning milik mereka, membuat warna tiruan. Seolah fajar telah menyingsing. Suara – suara itu terdengar menggema hingga ke tengah hutan tempat dimana Sangkuriang dan bala tentaranya yang sedang menyelesaikan tugasnya itu. Suara itu merubah wajah para jin menjadi penuh kekhawatiran, mereka berhenti bekerja.
“Tuanku, ayam telah berkokok. Itu artinya mentari sudah mulai terbit, dan fajar telah menyingsing. Hari sudah pagi!” kata salah satu jin yang berwajah seram dengan otot yang kekar.
“Tidak! Itu tipuan”  jelas Sangkuriang tak percaya. Tapi, para jin itu tak menghiraukan apa yang dikatakan Sangkuriang. Kilauan warna dari selendang-selendang yang dikibarkan oleh para gadis-gadis desa itu membuat mereka percaya bahwa mentari mulai terbit. Mereka sangat takut akan fajar. Satu persatu dari merekapun pergi. Menghilang seperti kilatan cahaya. Sedang Sangkuriang mulai membara, ia berapi-api, menyuruh bala tentaranya untuk kembali dan menyelesaikan pekerjaannya yang hampir selesai.
“Tunggu, kalian mau kemana? Hey! Tugas kalian belum selesai” pekik Sangkuriang. Sayang, teriakannnya hanya seperti angin yang berhembus. Para jin itu telah menghilang. Ia hanya sendiri, berteriak-teriak tak karuan.
Di tengah gejolak nuraninya, Dayang Sumbi datang. Ia menyeringai ke arah Sangkuriang. Ia merasa menang kali ini, Sangkuriang gagal memenuhi janjinya.
“Kau gagal Sangkuriang! Mentari telah terbit dari ufuk timur sana” Sangkuriang balas menatap Dayang Sumbi tajam.
“Kau licik, Dayang! Ini semua ulahmu, aku tau itu” pekik Sangkuriang. Dayang Sumbi menanggapi amarah itu dengan senyuman.
“Terserah apa yang kau katakana Sangkuriang, bagaimanapun juga dan sampai kapan pun juga aku tak akan sudi menjadi isterimu! Sadarlah nak, aku ini ibumu!”
Entah hati Sangkuriang terbuat dari apa, ia tak luluh sama sekali. Ia enggan menerima kenyataan bahwa Dayang Sumbi adalah ibunya. Cintanya telah membutakan segalanya. Sangkuriang masih berkobar dengan amarah yang mendalam.
“Ah, Persetan kau Dayang!” di tendangnya perahu yang hampir jadi itu, perahu tersebut  melayang dan kemudian mendarat di sebuah lembah dengan keadaan terbalik. Perahu itu bermetafosis menjadi sebuah Gunung yang kita kenal dengan nama “Tangkuban Perahu”. Dan dengan seluruh kekuatannya, Sangkuriang menghacurkan bendungan. Air danau pun mengering dan menjadi sebuah dataran kering yang luas. Kau tau ? dataran kering itu telah berubah menjadi kota besar, yang sangat termasyhur di Jawa Barat. Kota besar itu adalah Bandung. Sebuah nama yang di ambil dari kata “Bendungan” .
ŒŒŒ
Seluruh perjuangan Sangkuriang mendapatkan Dayang Sumbi hanya sekedar utopia belaka. Semua paradigma tabu itu terkupas sudah. Takdir tak berada di pihaknya. Karena mereka berdua di takdirkan untuk menjadi seorang ibu dan anak. Dan tak akan mungkin lebih dari itu.

SELESAI
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar