Kamis, 12 November 2015

Gara-Gara Senja


Aku selalu menyukai senja, karena katanya ia selalu menyimpan cerita didalamnya, dan karena warnanya selalu terlihat cantik dengan blur-an warna orangenya yang anggun dan menawan. Ia juga menjadi saksi bisu atas rasa abstrak yang tak pernah rasional  layaknya bilangan yang tak terdefinisi. Aku tersenyum mengingat tentang itu, bagaimana tidak? Karena sampai detik ini, rasa itu masih tetap tumbuh dan berkembang subur di tempat yang paling dalam di nuraniku.
YYY
            Tiga tahun yang lalu…
            Hari itu, semua orang di kelas sibuk memperbicangkan tentang kontes pemilihan “Raja dan Ratu semalam” di malam valentine nanti. Padahal waktunya masih satu pekan lagi, masih terlalu lama untuk mempersiapkan hal yang terkesan hanya ajang untuk hiburan saja. Dan aku tak tertarik sedikitpun dengan kontes itu. Baiklah, itu bukan karena aku tak punya pacar atau pasangan yang akan diajak, tapi ini soal memanfaatkan suatu event  yang lebih baik dari sekedar hura-hura saja. Hari kasih sayang seharusnya di apresiasikan untuk orang-orang disekitar, seperti keluarga misalnya. Damn! Aku terus saja menggerutukan tentang hal ini.
            Suasana kelas masih tetap sama bisingnya dengan satu jam yang lalu, itu karena Pak Brian tak masuk jam ini. Tak ada rumus yang harus diingat, itu lebih baik! tapi, tetap saja aku harus mengerjakan tumpukkan tugas darinya. Seratus pertanyaan tentang aljabar yang nyaris membuatku muntah melihatnya. Ah, selalu seperti ini!
            “Nay, rajin banget sih lo ngerjain gituan! Mending lo gabung yuk sama kita, ngebahas buat acara valentine nanti!” ajak Syaqila sambil menggoyang-goyangkan pundakku dari belakang. Aku menoleh.
            “Ya, lo tau sendirikan gue sibuk akhir-akhir ini buat lomba pramuka, kalau ngga sekarang ya kapan lagi coba? Maaf banget yah!”
            Syaqila diam sejenak, ia menatapku tajam.
            “Lo kapan sih ngga sibuk sama kegiatan pramuka? Nay bentar lagi tuh lo 17 tahun, lo emang ngga bosen sendiri terus?” ada tekanan di setiap kata yang diucapkan Syaqila.
            “Haha, lo kalo ngomong kemana-mana Qil! Gue ngga sendiri, kan Gue punya kalian, sahabat-sahabat gue. Dan itu udah cukup!” cakapku seadanya.
            Kali ini Rara beranjak dari kursinya, ia duduk tepat di depanku.
            “Ya ampun Nay, bukan itu maksud kita! Kita pengen lo punya pacar, atau jangan-jangan lo lesbian lagi?”
            “Ish, lo kalo ngomong jangan ngawur, Ra! Gue normal kali” tukasku. Mereka selalu saja membicarakan tentang hal ini. Padahal aku hanya ingin menghabiskan masa sekolahku bersama mereka.
            “Kalo gitu, lo harus jadi Ratu semalam nanti, gimana? Setujukan, guys?” Anyapun ikut bicara. Aku mendengus pelan. Ah kenapa mereka harus maksa aku sih! Kan kalau balik lomba mukanya pasti hitam, dan dapet gelar itu ngga mungkin! Keluhku.  
            “Tapi, gue ngga mahir soal cinta, dan ngga mungkin dapet pasangan dalam waktu seminggu, gue ngga mau”
            “Ayolah cantik, kita percaya kok lo bisa! Lo mau kan berjuang buat kita?” Rara terlihat sangat memohon sekali.
            “Baiklah, untuk kalian dan persahabatan kita” kataku akhirnya. Aku tersenyum dan kami saling berpelukan. Aku benar-benar tak yakin atas keputusan yang baru saja ku buat. Ah semoga cinta cepat datang datang kembali. Ah Tuhan, bahkan aku lupa bagaimana cara mencintai dan merindu seperti masa yang lalu.
YYY
            “Gue pulang duluan yah!”
            “Besok jangan telat ya, Nay” pekik Raya. Suara itu terdengar remang-remang di gendang telingaku, ya mungkin karena jarakku sudah terlalu jauh dari  mereka. Aku memang selalu terburu-buru untuk segera pulang ke rumah selesai latihan, dan ini bukan karena ibu melarangku untuk pulang larut, tapi ini karena senja.
            Aku selalu menyempatkan untuk melihatnya di taman dekat rumah. Kirana senja membuatku selalu rindu untuk melihatnya. Untungnya, jarak tempat aku biasa latihan pramuka tak jauh dari rumahku. Jadi, aku bisa berlari atau berjalan secepat mungkin agar segera sampai di taman itu.
            Lihatlah! Senja itu tampak menawan bukan? Aku tersenyum menyaksikan keelokan kirana senja ini. Ia tak pernah mengecewakanku.
            “Nay, kamu suka senja juga?” suara itu membuyarkan pandanganku pada senja, aku menoleh ke arah suara itu. Ia tersenyum, sangat tampan sekali! Bukankahkah ia Adi, anak baru yang katanya jago banget sama pramuka? Oh My God! Dan Adi tau namaku! Ah, kok aku jadi nervous gini?
            Aku diam seribu bahasa, tak tau apa yang harus ku ucapkan. Kedua alisnya mengerut, ia menatapku tajam. Ah, aku belum pernah ditatap seperti ini oleh laki-laki manapun!
            “Nay, kamu ngga apa-apakan? Kok tiba-tiba wajah kamu merah gitu, habis itu pucat lagi” Tanya Adi, ada nada khawatir yang terdengar. Kacau! Nampaknya raut wajahku memerah, ini memalukan!
            “Aku nggak apa-apa, di! Mungkin kecapaian habis latihan tadi” balasku gugup. Sungguh! Tak biasanya aku seperti ini. Rasanya tak karuan, antara bahagia atau apalah itu. Sepertinya ada yang salah dalam diriku. Entahlah.
            “kalo gitu, aku anterin kamu pulang ya, Nay?” tawarnya. Ia masih menatapku seperti itu, namun terlihat bersahabat dengan senyuman di akhir kalimatnya.
            Aku menarik nafas sedalam mungkin. Mencoba menstabilkan jantungku yang berdetak kencang sekali. Berharap ia tak melihat kegugupan dalam diriku. Aku menyeringai hangat padanya.
            “tak usah, rumahku disana!” jawabku sambil menunjuk rumah bercat orange dan cream. Tepat! Seperti warna senja.
            “Oh yang itu, kalau gitu hati-hati di jalan ya, Nay” senyum itu tak pernah lepas menghiasi raut wajah Adi. Adi memang tak setampan laki-laki lain, tapi senyuman dan matanya yang khas mampu membuat wajahku  memerah dan jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Bahkan aku dapat merasakan detak jantung itu. Berdebar keras sekali!
            “iya, makasih Adi! Aku pulang dulu ya” kataku kemudian. Masih dengan kalimat yang terbata-bata, aku menyeringai ke arah Adi sejenak, lalu berlalu pergi meninggalkannya.
            Entah kenapa ada yang berbeda di sore ini, padahal warna senja tak pernah berubah sedikitpun, tapi ada desiran di sudut hatiku yang lain. Perasaan bahagia di campur dengan kegelisahan. Ya Tuhan, kenapa aku tak bisa berhenti untuk tidak memikirkan laki-laki itu! Rasa ini terlalu rumit jika harus ku jabarkan, bahkan mungkin rasa ini tak berbilang, tapi ia terus saja berpangkat dan bermetafosis menjadi sebuah kurva yang tak ada batasnya. Rasa ini benar-benar membingungkanku. Tapi, aku menyukainya. Ada apa ini?
YYY
            Kata orang yang namanya cinta itu tak seperti mie gelas yang langsung siap saji, ia memerlukan proses dan terkadang datang secara tiba-tiba. Tapi, ia juga bisa datang karena terbiasa. Berawal dari rasa kagum, dan pada akhirnya perlahan cinta itu tumbuh.
Meski rasa itu mampu menyiksa setiap insan yang merasakannya, menyiksa kala mereka tengah di landa rindu. Sesakit apapun yang terasa karena cinta yang salah, tak pernah membuat mereka trauma untuk kembali jatuh cinta, bahkan kepada orang yang sama. Cinta memang benar-benar membingungkan, kadang terasa indah dan kadang penuh dengan duka.
YYY
            Ku fikir, aku tak akan bertemu dengan Adi sesering ini. Adi selalu ada dimana-mana dan terkadang muncul tiba-tiba, lalu menghilang seperti hantu. Mungkin itu karena aku dan Adi sama-sama aktifis dalam pramuka, jadi tak heran aku akan selalu bertemu dengannya setiap saat di lapangan.
            Namun, aku belum terbiasa dengan rasa aneh yang tiba-tiba saja muncul dalam diriku. Semakin aku sering bertatap muka dengannya, aku semakin tak bisa berhenti untuk terus memikirkannya. Dan ketika mata ini tak menemukan sosoknya sedetikpun, ia pasti akan mencari, ada rindu yang ku rasa. Apa aku sedang jatuh cinta?
            “Nay, bengong melulu!” tegur Rara. Aku terkesiap, Rara benar-benar membuatku kaget.
            “ish, lo ya nyebelin banget!” ujarku memasang wajah sebal dengan bibir manyun. Rara terkekeh melihat ekspresiku.
            “habis lo bengong melulu, eh gimana soal besok malem?” lagi-lagi Rara menanyakan soal itu.
            “ya ampun, Ra! Lo nggak liat wajah gue kebakar gini gara-gara lomba kemaren, hah? Emangnya ada cowok yang mau jadi pasangan gue buat besok malem?” keluhku.
            “ada, dan orang itu aku!” suara itu muncul tiba-tiba, aku dan Rara menoleh bersamaan ke arah dimana suara itu berasal. Sosok itu tersenyum seperti biasa. Rara bangkit dari kursi taman yang kami duduki, raut wajahnya berubah seketika. Merah padam, seperti naga yang bersiap menyemburkan apinya. Rara tak suka mendengar kalimat itu terucap dari bibir Adi.
            “Adi? Kamu bercanda kan?” Tanya Rara tak sabar. Aku menatap mereka heran.
            “nggak, Ra! Aku nggak pernah bercanda soal hati, aku sudah lama memperhatikan Naya” ujar laki-laki yang selalu mendebarkan hatiku. Dan kali ini, ia membuat wajahku kembali memerah. Ah debar di hatiku mulai lagi.
            “oh, jadi ini cewek yang selalu kamu bicarakan itu?” Rara diam. Raut wajahnya penuh dengan kekecawaan, ia menatapku dengan tangis yang di tahannya.
            “Nay, gue nggak nyangka lo setega ini sama gue”  ujarnya dan bendungan air  mata itu akhirnya pecah juga.
“Tapi ini, nggak seperti yang lo kira, Ra! Gue nggak tahu apa-apa soal ini” jelasku. Rara tak lagi berbicara sepatah katapun, air mukanya menggambarkan kekecawaannya yang teramat mendalam.  Rara pergi dengan tangisnya, aku tahu ia pasti sangat terluka.
Kali ini aku balas menatap Adi.
“Adi, harusnya tuh kamu mencitai Rara! Dia tulus mencintai kamu”
“tapi Nay, aku nggak pernah menaruh perasaan apa-apa sama Rara, aku cuman cinta sama kamu!” aku menatap kedua mata Adi yang cerah. Ya, Adi! aku juga mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu. Ah, ini tak mungkin!
“Apa katamu? Cinta? Kamu tau arti cinta itu apa, hah?” tanyaku ketus, aku tak kuasa mentap matanya lagi.
“ya, aku cinta sama kamu! Aku tau apa itu cinta, dan kalaupun kamu nggak percaya, aku bisa membuktikannya sama kamu!” jelas Adi dengan penuh kesungguhan.
“oke, kalau kamu emang bener-bener cinta sama aku, mulai dari detik ini jauhin aku!” pintaku pelan.
“tapi Nay…” aku segera pergi dari hadapan Adi. Berlari sekencang mungkin bersama luka dalam nuraniku. Ah, kenapa cinta harus datang di saat yang tak tepat? Bagaimana bisa aku tak tahu, kalau Rara mencintai Adi? Seandainya sejak awal aku tahu tentang ini, mungkin aku tak akan membiarkan rasa ini tumbuh di dalam nuraniku. Dan aku tak akan melukai hati Rara, juga menghancurkan persahabatan kami yang sudah hampir empat tahun ini. Aku benar-benar mengacaukan semuanya.
YYY
Senja yang berbeda. Mungkin karena nuraniku sedang terluka. Kisah tentang rasa abstrak itu harus ku akhiri segera. Padahal, aku baru saja mengingat perihal rindu yang telah lama tak pernah ku rasakan lagi setelah hatiku patah sekian tahun yang lalu. Dan rindu ini harus kembali berbuah menjadi luka. Tapi ini sudah menjadi skenario-Nya. Aku pasrah.
Aku masih memandangi senja di tempat yang biasa. Mencoba memulihkan hati yang patah. Rasa itu seperti senja. Selalu terlihat indah tapi tak abadi. Aku lupa akan hal itu. Rasa yang mereka bilang cinta itu membuatku enggan berlalu, ingin tetap memandanginya dan selalu merangkaikan kata rindu di setiap sela-sela angin yang berhembus. Berharap angin mau menyampaikan salam rinduku pada senja. Namun, Waktunya memang tak tepat.
“Naya” suara itu sayup-sayup terdengar. Aku terhenyak dalam lamun panjangku, memalingkan wajah pada pemilik suara tadi. Ia tersenyum ke arahku.
“Ra, gue bisa jelasin semuanya! Ini nggak seperti yang lo bayangin” kataku dengan nada yang sedikit memohon.
“ini bukan kesalahan lo kok, Nay! Gue sadar, hati itu nggak bakalan bisa di paksakan” aku menatap Rara heran.
“maksud lo?”
“lo berhak bahagia sama orang yang cinta sama lo, dan gue juga tau lo punya rasa yang sama ke Adi kan?” aku diam.
“jangan khawatir, gue baik-baik aja kok Nay” Rara tersenyum sangat bersahabat.
“tapi, lo akan tetep jadi sahabat gue kan, Ra?” Rara mengangguk dengan senyum yang masih melekat pada wajahnya yang cantik.
“dan malam ini, lo sama Adi harus jadi Raja dan Ratu semalam!” ujarnya lagi penuh semangat. Aku hanya tersenyum mengiyakan. Senja yang ku fikir akan menjadi saksi tangis senduku, ternyata tidak. Banyak hikmah yang bisa ku teguk dalam secangkir kisah hari ini. Nurani yang sempat tergores perlahan membaik. Luka itu sembuh seketika. Mungkin ini akhir yang di sebut bahagia.
YYY
“kamu terlihat cantik malam ini” kata Adi yang tiba-tiba menghampiriku. Sial! Pipiku memerah lagi. Aku tersipu sangat tersipu karenanya. Bahkan ia tak hentinya memandangiku dengan tatapannya. Detak jantung ini kembali berdegup lebih kencang dari biasanya. Aku bisa menjadi gila karenanya.
“terimakasih” ujarku terbata. Adi terkekeh.
“kau selalu seperti itu” aku hanya bisa menunduk. Tak dapat berkata apa-apa lagi.
Dan malam itu, pemilihan “Raja dan Ratu semalam” pun dimulai. Ternyata dugaanku tentang kegiatan hura-hura itu salah besar. Rupanya pihak sekolah telah mengemas acara ini sebaik mungkin. Setiap pasangan di tuntut untuk bisa mengungkapkan argumentasi masing-masing tentang hari kasih sayang yang seharusnya, layaknya diskusi. Tapi, ini menyenangkan! Tak membosankan seperti diskusi biasanya. Selain itu ada sesi dimana setiap pasangan harus bisa menampilkan bakat mereka. Sesi itu di adakan untuk menghibur para tamu undangan. Karena acara ini juga mengundang anak-anak sekolah yang kurang beruntung. Dan di akhir acara di adakan penggalangan dana untuk disumbangkan kepada masyarakat yang tak mampu, penggalangan dana tersebut dilakukan oleh setiap pasangan. Pasangan yang mendapatkan galangan dana yang paling banyak akan mendapat nilai plus dari juri.
YYY
Skenario malam itu telah tertulis, tak pernah ku sangka, aku dan Adi yang mendapat gelar itu. Akhir yang bahagia, bukan? Meski setelah lulus SMA kemarin aku dan Adi memutuskan untuk kembali menjalani hati masing-masing. Bukan karena tak cocok lagi. Tapi aku dan Adi memutuskan untuk menunda rasa ini dulu. Karena aku percaya Tuhan menitipkan rasa ini sebagai anugerah. Aku tak mau saja mengotori anugerah yang diberikan-Nya dengan noda-noda yang tak harusnya ku perbuat.

Dan kami membumbui rasa ini tak hanya dengan cinta, tapi juga saling percaya dan menjaga hati agar tak jatuh kepada hati yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar