Kamis, 12 November 2015

Underdog Can Win !

               This was a story about struggle, about a boy who has big dream and big effort. His name is Muhammad Fakhri., but usually his friend called him “Ari”. Ari was a student in 2nd grade of senior high school. Ari was not smart student in his class, he did not have any good talents also. But he has big idea, he wanted to be scientist when Mr.Brian asked him what he wants to be in the future.
            “What did you say, Ari? Do you want to be scientist? Hahaha” Dino said, he was laughing very loudly.
            “Sure Dino, I’ll be scientist in the future” Ari answered seriously.
            “What can you do Ari, hah? You are just underdog exactly!” All of Ari’s friend laughed at him. But, Ari was still keep smiling.
            “It’s not your business. Listen, Dino! I am not clever student as you and I know that. But I’ll prove it to you!”
            “Okey, just wait and see Ari, I’ll keep your word!” Dino smiled full of mockery.
            “All right, I promise you that!”
            And began from that day, Ari promised to himself that he has to study more hard than his friends. He must prove his friends that he would be success scientist as he said just now, expecially to Dino.
            Dino was clever student in Ari’s class. He was multi-talent student also. Everybody in the school knew him. And Ari was not his competitor. Dino and Ari as like sky and earth. They were very different. But it was too bad that Dino was arrogant person. No one like him. The arrogant character in himself was the reason why his friends did not like him.
            Ah! The humans are always be arrogant when they have everything and have many ability they can do. Moreover, they forget that on the stream still there is the sky. Actually, Allah didn’t like the arrogant person.
@@@
            Ari was very serious for making his dreams come true. He was studying more and more. And time by time his mark change slowly to be better than before. Everyone knew that Ari has done it clearly.
            And Dino awared about Ari. He was so afraid that Ari could rival him as quickly as possible. Dino was worry about that. So, he began to study more hard than Ari. But, Dino can’t do it as well.
            Dino was thinking to look for another way. He made Ari down at that time. Dino was successful to do it. Ari was giving up!
            Yet, Ari awared.  He can’t give up anymore. Then, he back to remember all of his dream. He knew, he must get up quickly. Finally, Ari decided to study hard again and he wouldn’t hear everything that could make him down again. He was not forget also for praying to Allah SWT. And praying was a power for him to icrease his ability in all of lesson.
            “This is time for shinning up” he said to himself .
                                                                        @@@
            Few years later. There are two men and different appearance in the restaurant. One of them was very fashionable and good looking with the coat he weared .Wheareas his friend was like old than his age. They were a meeting for a promise.
            “Dear me! I can’t bealive what I’ve seen today. Honestly I would like to say sorry for all of my mistakes”
            “No problem Dino! If you didn’t say it to me, I will not be like this as you see right now” Ari smiled.
            “No, Ari! You have proved that underdog can win. I’m guilty and please, forgive me” Dino said slowly. He was very regret what he has done to Ari.
            “I’ve forgiven you before you ask  me”
            “Really? Oh, thanks a lot Ari! I promise I won’t do it again to you and others” Dino smiled with tears. They hug each other. It was great moment between them.
            Ari has been a success scincer as he wanted. His effort was not useless. And how about Dino, the clever student in Ari’s class? he just be an office-boy in the small company, no more than that.
@@@
            Success is not certained by how clever he is but success is certained by how big effort he do to reach his dream. To be success person is simple. We just need big effort, dream and keep praying. Everything reachable! []
Vocabularies :
·         Underdog        : Petanding yang tak di unggulkan
·         Struggle           : Perjuangan
·         Mockery          : Hinaan
·         Scientist          : Ilmuwan
·         Competitor      : Pesaing
·          To Aware       : Sadar
·         Appearance     : Penampilan

·         Effort              : Usaha

Legenda Sepotong Cinta


“Kau tak bisa menikahiku, Sangkuriang!” ujar seorang gadis cantik dengan kebayanya yang anggun, raut wajahnya tampak sedikit memohon.
            “Kenapa  tidak, Dayang? Bukankah kita saling mencintai?” jawab sang pemuda berperawakan gagah bak ksatria yang selalu diceritakan di dongeng-dongeng zaman dulu.
            Gadis itu hanya menatapnya dalam kebisuan. Bola matanya yang terang mulai di penuhi tetesan bening laksana embun pagi. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ah mengapa cinta harus datang di tempat yang tak seharusnya ia ada? Mengapa sang nurani ini ikut bimbang atas rasa yang tak pernah di undang? Tidak! Nurani tak boleh ikut serta dalam hal ini, ia harus menggunakan logikanya kali ini. Gadis itu menarik nafas perlahan. Menatap dalam sepasang mata yang dulu dicarinya.
            “Karena aku adalah ibumu, Sangkuriang! Dan rasa cintaku yang tengah ku rasakan padamu ini bukan cinta seorang gadis kepada kekasihnya, tapi ini cinta seorang ibu pada anaknya. Kau mengertikan?” pemuda tampan yang bernama Sangkuriang itu terdiam. Ini tidak mungkin!
            “Hahaha, kau fikir aku mempercayaimu hah? Kau berbohong Dayang!  Mana mungkin kau ibuku, kau tau? Ibuku telah tiada dan kalaupun dia ada sekarang, parasnya tak mungkin serupawanmu, Dayang!” Sangkuriang tak menggubris apapun yang di katakana gadis jelita itu. Nampaknya nurani Sangkuriang telah buta akan cinta yang teramat mendalam pada gadis desa itu.
            Dayang Sumbi masih tetap diam, tak lagi berbicara sepatah katapun. Jiwanya remuk, hancur berkeping-keping,. Nuraninya terhunus tajam. Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Dia terus saja bergumam dalam hatinya, menuntut Tuhan untuk segera mengeluarkannya dari jeruji ini. Terlalu rumit, dan harusnya tak seperti ini.
            Mereka berdua saling bertatapan, saling menerka perasaan masing-masing. Ini bukan sekedar cinta terlarang, tapi ini juga soal keyakinan. Bagaimanapun juga, Dayang Sumbi harus bisa membuat pemuda itu percaya akannya dan berhenti untuk mencintainnya seperti ini. Karena mereka tak tercipta dari senja yang sewarna, dan Dayang Sumbi tahu, ia tak akan mungkin bisa menggandakan warna senja itu. Atmosfer kegundahan masih menyelimuti mereka berdua. Tuhan tengah membolak-balik perasaan mereka saat ini.
Œ
            Kau tau? Ini merupakan kisah terpopuler dari Tanah Sunda, kisahnya tak pernah luntur dari nurani masyarakat sunda sekitar. Ia selalu terkenang sepanjang masa. Kisah ini selalu diceritakan dari generasi ke generasi, entah sudah berapa generasi yang masih mengenang kisah cinta ini. Ini bukan hanya sekedar legenda, tapi juga mengajarkan kita tentang kemana cinta seharusnya berlabuh.
Ya, ini kisah tentang seorang gadis cantik yang selalu menghabiskan waktunya dengan merajut. Ya, dan sebuah skenario baru telah tercipta untuknya setelah itu. Kemudian, takdir Tuhan yang tak mungkin di tepisnya jauh, ia jalani dengan penuh keikhlasan, meski pada akhirnya ia sadar, masa tak pernah berada di pihaknya.
Œ
            Sang raja siang masih setia menyinari bumi dengan hangat sinarnya, dan langit di atas sana selalu biru akhir-akhir ini, tak  ada kabut yang menutupinya. Awan-awan putih juga ikut memberikan ukiran dan ornament yang indah pada sang langit. Mugkin itu menjadi salah satu alasan, mengapa bumi tak akan pernah sama dengan langit. Langit selalu pandai mengekspresikan  dirinya setiap saat, tak seperti bumi yang tetap seperti itu. Dan diantara hamparan bumi yang begitu luas itu, hidup seorang gadis cantik jelita.
Gadis itu tengah asyik merajut. Namun, tiba-tiba saja bola rajutan itu terjatuh dari tangannya entah kemana, dan entah apa yang merasuki fikirannya saat itu. Ia berteriak meminta tolong kepada orang-orang yang  ada disekitar rumahnya, emosinya tak terkontrol begitu saja. Mungkin keadaan hatinya tengah kacau sekali.
Bahkan ia bertekad dalam dirinya, bahwa siapa saja yang dapat menemukan bola rajutan itu, jika ia perempuan akan di jadikannya sebagai saudara dan jika ia laki-laki maka ia akan di jadikkannya sebagai suami. Saat tekad itu terucap dalam nuraninya, terdengar suara kilat yang menggelegar, entah apa maksud dari suara itu. Yang jelas, ia teramat sangat terkejut. AAh, tak biasanya ia seperti ini karena hanya kehilangan bola rajutan saja, bukankah ia bisa membelinya lagi? EEntahllah!
            Di tengah kegundahan nuraninya itu, seekor anjing berserta bola rajutan miliknya datang. Anjing itu bernama Tumang, dan ternyata ia bukan anjing biasa, ia merupakan jelmaan dari sang pangeran yang tampan dari kerajaan Kahyangan. Dan entah bagaimana jalinan cinta itu terjadi antara keduanya, aku tak tau. Mereka saling mencintai satu sama lain, dan gadis itu harus menepati janjinya bukan? Tentu, merekapun menikah pada akhirnya dan hidup bahagia di sebuah rumah sederhana di tengah hutan.
            Akan tetapi, ini bukan akhir dari kisah ini. Kebahagiaan dalam pernikahan mereka merupakan awal dari kisah ini di mulai, karena sepertinya takdir Tuhan tak menghendaki kebahagiaan mereka berlangsung lama. Meski pada awalnya kebahagiaan mereka bertambah tatkala Dayang Sumbi melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan dan gagah seperti ayahnya, sayangnya bayi laki-laki itu menjadi boomerang untuk keluarga mereka nantinya.
            Roda waktu terus berputar di setiap kali mata ini berkedip, di setiap nafas yang berhembus,  layaknya siang dan malam yang selalu berganti setiap harinya. Kini, bayi laki-laki itu telah tumbuh menjadi anak laki-laki yang pintar dan pemberani, anak laki-laki itu bernama Sangkuriang. Setiap harinya ia selalu berburu ke hutan dan mencari buah-buahan untuk di makan di temani Tumang anjingnya. Sangkuriang tak pernah tahu anjing yang selalu bersamanya itu adalah ayah kandungnya.
              Pada suatu hari, tak seperti biasanya hutan tampak sepi sekali, entah ada angin apa yang membuat suasananya seperti kuburan. Tak ada tanda-tanda hewan berkaki empat hidup di sini. Aneh! Sepasang mata milik Sangkuriang kecil masih terus waspada, kedua bola matanya masih terus bergerak mengawasi sekitar hutan, berharap seekor kijang dapat di burunya kali ini. Setelah sekian lama mencari, akhirnya  ekor mata milik Sangkuriang menangkap dengan jelas binantang yang tengah diincarnya itu datang mendekat. Sangkuriang tak bergerak sedikitpun. Ia tak mau buruannya kabur karena suara langkahnya.
            Detak jantung Sangkuriang terdengar lebih keras dari biasanya, nafasnya tak teratur. Aliran darahnya ikut mengalir cepat. Sangkuriang memang sudah tak sabar menghunuskan anak panahnya itu. Saat seekor kijang mulai dekat dengan posisi tempatnya berdiri, ia segera melepaskan anak panahnya pada objek yang diincarnya. Ah sial! Anak panah itu melesat jauh ternyata.
            “Hey, Tumang! Kejar kijang itu!” sentak Sangkuriang.
            Anjing itu mengejar buruannya diikuti anak lelaki tadi. Mereka terus berlari tanpa hentinya. AAh, kemana kijang itu? kenapa ia tak terlihat juga? Sangkuriang  menyerah. Ia tak sanggup lagi berlari lebih jauh dari ini. Nafasnya tak teratur. Peluh sudah membanjiri tubuhnya.
            “Sial! Kita kehilangan  jejaknya, Tumang!” keluh Sangkuriang sembari menyeka peluh yang terus saja keluar.
            Sangkuriang mulai khawatir, hari mulai gelap dan ia tak mendapatkan binatang buruan satupun. Ibunya pasti lama menunggu. Ia tak mungkin pulang dengan tangan kosong, ibunya akan kelaparan, begitupun juga dengannya. Sangkuriang termenung diam, ia mulai memutar otaknya. Mencari jalan keluar. Dan tiba-tiba saja akal picik Sangkuriang mulai merajai fikirannya. Ia melirik Tumang yang masih kelelahan berdiri disampingnya. Tanpa fikir panjang, dan tanpa mempertimbangkan apapun, di tancapkannya pisau tajam tepat di jantung anjing itu.
            Tumang meraung kesakitan. Berharap Sangkuriang melepaskan pisaunya. Tapi, Sangkuriang tak memperdulikan anjing itu. Ia membunuh Tumang tanpa belas kasihan sedikitpun. Toh, Tumang hanya seekor anjing peliharaannya, dan ia hanyalah seekor binatang. Sangkuriang mencoba meyakinkan dirinya, bahwa apa yang ia lakukan adalah benar adanya.
ŒŒŒ
            “Kau baik-baik saja, Sangkuriang?” wajah itu tampak khawatir sekali saat anak lelakinya datang.
            “Kau tak perlu menghawatirkanku seperti itu, ibu! Aku sudah besar” Sangkuriang tersenyum.
            “Tapi, tak biasanya kau pulang selarut ini” air mukanya masih tetap sama. Sama khawatirnya.
            “Lalu, dimana Tumang?” Sangkuriang diam. Kedua alisnya mengerut, menatap Sangkuriang penuh curiga.
            “Ayolah bu, jangan berlebihan seperti itu, Tumang sedang bermain bersama kawanan anjing yang lain, nanti juga dia pulang sendiri. Lebih baik ibu masakkan daging kijang ini untuk makan kita, ya bu?” nada terakhir ucapannya itu sedikit memelas, Sangkuriang masih tetap dengan senyumannya, berharap ibunya mau percaya.
            “Baiklah, ayo masuk! Ibu akan memasakannya untukmu” raut wajahnya kini berubah, menjadi sangat teduh dan penuh dengan senyuman. Ah akhirnya !
ŒŒŒ
            Rumah ini memang terlampau sederhana, dinding-dindingnya terbuat dari kayu, meski begitu atmosfer dalam rumah ini selalu stabil. Maksudku, iklimnya selalu hangat dan tenang. Itu mungkin karena kehidupan disini selalu penuh kedamaian dan cinta antara anak dan ibu.
            Sayangnya, tidak dengan malam ini, bahkan langit juga seperti larut dalam suasana rumah. Memang terlihat tampak damai diantara keduanya, padahal Dayang Sumbi masih tetap dengan kekhawatirannya. Dan Sangkuriang mencoba menutupi kebohongannya,
            “Sangkuriang, daging apa ini? Rasanya berbeda dengan daging kijang yang sering kau bawakan untukku” Sangkuriang tiba-tiba saja tersedak, ia segera meminum segelas air putih yang ada di dekatnya.
            “Kau menyukainya ibu” Tanya Sangkuriang terbata.
            “Tentu, nak! Rasanya lezat sekali” wanita itu menyeringai dengan hangat.
            “Ah syukurlah, kau menyukainya ibu. Itu daging Tumang” nampaknya kalimat itu mengalir dengan jelas dari bibir Sangkuriang, lantas orang yang diajaknya bicara menatap Sangkuriang geram. Raut wajahnya bermetafosis 180 derajat dari sebelumnya. Amarahnya mulai meledak-ledak siap untuk dikeluarkan.
            “APA KAU BILANG? Tega sekali kau bunuh Tumang!” Pekik Dayang Sumbi.
            “tapi dia hanya seekor anjing ibu! Mengapa kau lebih peduli pada anjing itu, hah?” tukas Sangkuriang. Amarah Dayang Sumbi mulai bergejolak, ada tangis yang mengiringi.
            “tidak Sangkuriang! Dia ayahmu, ayah kandungmu” ujar Dayang Sumbi di sela tangisnya.
            “tidak mungkin, ibu! Kau berbohong, kau bohong!” Dayang Sumbi menatap Sangkuriang kecewa. Sebuah sisir kayu yang ada di atas meja, di ambilnya.
            Amarah itu telah merajai hati Dayang Sumbi. Tak ada ampun untuk Sangkuriang, sisir itu di lemparnya mengenai kepala Sangkuriang. Sangkuriang mengaduh kesakitan.
            “baik, sekarang kau angkat kaki dari rumah ini! Dasar anak durhaka!” pekik Dayang Sumbi. Sangkuriang menatap ibunya sekejap. Nuraninya hancur berkeping-keping. Dengan tangis yang mengiringi Sangkuriang pergi meninggalkan rumah itu. Ia berjalan sendiri di tengah malam yang dingin dan derasnya hujan. Hatinya terluka sangat parah. Namun ia tak bisa menyalahkan keadaan, karena bagaimanapun juga ini adalah kesalahannya.
            Sedangkan di rumah itu, Dayang Sumbi masih menangis sejadi-jadinya meratapi nasibnya yang menyedihakan. Ada sedikit sesal dalam lubuk hatinya. Ia seharusnya tak bersikap seperti itu pada Sangkuriang. Tapi nasi telah masak menjadi bubur. Ia tak mungkin mengembalikan waktu yang telah tertoreh. Ini sudah menjadi bagian dari scenario-Nya.
ŒŒŒ
            Lalu bagimana setelah ini? Konon katanya saat Dayang Sumbi tengah terlelap dalam tidurnya. Sang pangeran datang di mimpinya. Ia masih seperti dulu, tampan dan gagah.
            “jangan khawatir isteriku, kau tak akan kehilanganku sampai kapanpun juga, karena aku selalu ada disini, di hatimu” Dayang Sumbi menatapnya ragu. Sang pangeran mendekatinya, lantas ia membelai rambutnya penuh cinta.
            “hati dari Tumang yang kau makan itu akan membuatmu tetap awet muda sampai kapanpun, dan pada saatnya nanti kau akan bertemu dengan Sangkuriang” tangan Dayang Sumbi di pegangnya erat. Sang pangeran mencoba meyakinkannya. Dayang Sumbi pun tersenyum, ia memeluk erat suaminya itu.
            Dan sejak saat itu Dayang Sumbi tak pernah tua. Ia akan tetap awet muda sampai kapanpun juga.
ŒŒŒ
            Bumi akan terus berputar, siang dan malam akan terus bergulir, berganti .dengan senang hati mengikuti aturan Sang Pencipta. Ayam masih berkokok seperti biasa dan burung selalu bersenandung syahdu. Tak ada yang berbeda dari hutan ini, masih tetap sama seperti beberapa belas tahun kemarin.
            Namun zaman akan terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi yang banyak ditemukan oleh banyak ilmuwan dari berbagai belahan dunia. Tapi mungkin hal itu tak terlalu berlaku untuk sebuah rumah sederhana yang masih dengan dinding yang sama terbuat dari anyaman rotan, dan atap yang terbuat dari daun-daun kelapa yang mengering. Sangat sederhana sekali, dan mungkin rumah itu tak layak lagi di tempati oleh seorang wanita cantik nan baik hati.
            Rumah ini memiliki banyak sejarah bagi wanita itu. Mungkin itu salah satu alasan mengapa ia tak mau meninggalkan rumah ini. Di pekarangan rumahnya ia selalu duduk termenung. Menanti sosok yang telah lama lenyap dari pandangan matanya. Sosok yang dulu pernah di marahinya. Wanita itu benar-benar merindukan sosok itu.
            Hingga pada akhirnya, waktupun berbicara. Skenario itu telah tercipta sebelumnya. Seorang pemuda gagah berani dari desa sebrang datang berkelana ke hutan dimana wanita itu berada. Mereka berdua tak sengaja berjumpa di sana. Kedua mata mereka saling berbicara. Pemuda gagah dan tampan itu jatuh cinta pada pandangan pertama pada wanita tadi. Mungkin ini yang selalu di pergunjingkan orang-orang tentang rasa yang datang dari mata lalu turun ke hati.
              Kau tau? Cinta diantara mereka tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Mereka seolah diciptakan Tuhan untuk bersama. Menjalin kasih dan berbagi rasa yang mereka sebut dengan cinta. Namun masa tak pernah membiarkan rasa itu abadi dan bertengger lama di dahan hati mereka. Seperti keindahan senja yang hanya dapat dinikmati untuk waktu yang singkat.
            Setelah sekian lama hubungan asmara mereka terjalin, pemuda dari desa sebrang yang mungkin dari desa entah berantah itu berniat meminangnya. Sebelum jawaban itu terucap dari sang wanita, ia meminta wanita berparas anggun itu untuk membuka ikat kepala milik dirinya. Ia ingin wanita itu melihatnya dengan apa adanya ia sekarang, dari atas hingga bawah. Ia tak ingin menutupi segala kekurangannya atau apapun itu dari wanita yang dicintainya.
            Sayangnya, seketika itu juga raut wajah wanita bernama Dayang Sumbi itu menjadi muram, cahaya yang terpancar dari wajahnya seketika redup. Kedua alisnya mengerut, matanya tertuju pada sebuah luka di atas kepala pemuda gagah itu. Luka itu sama persis di tempat yang sama ketika ia memukul Sangkuriang, anaknya beberapa belas tahun yang lalu.
            “Luka apa ini?” tanyanya penuh dengan kecemasan yang luar biasa.
            “Ini hanya luka biasa, aku lupa karena apa, tapi sejauh yang ku ingat luka ini sudah ada sejak aku kecil” Dayang Sumbi tertegun. ztak mungkin! Dayang Sumbi menatap lekat kedua mata pemuda yang ada di hadapannya. Ia tak salah, dugaannya benar. Pemuda ini adalah Sangkuriang, anaknya yang hilang dulu. Ia tak mungkin salah, firasatnya selalu benar.
            Detik itu juga, dunia seolah ambruk seketika. Bukan bahagia yang ia rasa, melainkan kegundahan hebat yang menyelimuti nuraninya. Ia tak mungkin mencintai anaknya sendiri. Paradoks kali ini benar-benar absurd. Penuh dengan euforia. Tubuhnya seakan dilempar dan dihempaskan dengan keras, membangunkannya dari mimpi indah kemarin. Ini nyata!
ŒŒŒ
            “Baiklah, aku mau menjadi isterimu! Tapi dengan satu syarat” Sangkuriang menyeringai penuh kemenangan.
            “Apa itu?” nadanya terkesan sangat angkuh.
            “Aku ingin kau membuatkan perahu yang cantik dan sebuah danau untuk kita berlayar nanti dalam satu malam, kau sanggup?”
            “Tentu Dayang, dengan senang hati aku akan melakukannya untukmu” Sangkuriang pun berlalu setelah menyanggupi semua syarat yang diajukan oleh Dayang Sumbi agar ia bisa menikahi Dayang Sumbi. Dayang Sumbi tak tahu bahwasannya Sangkuriang bukanlah pemuda biasa. Ia amat perkasa dan mempunyai ribuaan jin yang akan membantunya memenuhi syarat itu.
            Sedangkan hati Dayang Sumbi teramat kalut dan bimbang, ia seolah sedang mengahadapi sejuta pilihan di depannya. Takdirnya seolah sedang di undi, di bolak-balik bagaikan sebuah dadu yang siap di gulirkan begitu angka itu muncul, takdirnya pun terbuka. Bibirnya terus berkomat-kamit memanjatkan do’a kepada yang Maha Kuasa, memohon agar anaknya gagal, dan tak jadi menikahinya. Ia ingin kehidupannya kembali normal seperti sedia kala. Harap cemas, menyelimuti hatinya. Bagaimanapun dilubuk hati yang terdalam ia jah hati pada putranya, tapi ia akan tetap menjadi ibu untuk Sangkuriang. Bukan sebagai isteri seperti yang diinginkan Sangkuriang atasnya.
ŒŒŒ
            Kirana mentari telah tergantikan oleh kirana rembulan yang terang benderang di hamparan langit yang hitam dengan taburan bintang yang berkelap-kelip. Hewan yang aktif mencari makan di malam hari mulai keluar dari tempatnya setelah tidur mereka yang panjang di siang hari. Suara burung hantu mulai bersautan, malam semakin larut.
            Dan disana, di tengah hutan sana seorang pemuda dengan ambisinya yang kuat tengah membangun sebuah danau yang luas, dan perahu yang sangat besar nan indah untuk memenuhi syarat yang di ajukan oleh wanita yang dicintainya.
            Pasukan jin masih sibuk dengan tugas mereka masing-masing, dan pemuda itu hanya berdiri, mengawasi setiap gerak-gerik yang dilakukan prajuritnya. Matanya masih terjaga. Tak sedikitpun ia terlelap. Ia tau, ia pasti bisa menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari terbit nanti.
            Masih di tempat yang sama, hanya saja jaraknya berbeda. Sekitar 5 m dari tempat pemuda itu berdiri, di belakang sebuah pohon mahoni yang besar, seorang wanita berdiri, mengamati apa yang dilakukan pemuda itu. Degup jantungnya keras sekali. Aliran darahnya menjalar cepat. Wajahnya Nampak pucat. Ia khawatir, cemas dan gelisah tak karuan. Wanita itu berfikir keras, mencari cara untuk mengagalkannya.
Ia berlari menuju ketempat perkampungan, membangunkan para gadis desa, meminta bantuan mereka untuk mengagalkan Sangkuriang. Malam itu serempak seluruh gadis desa disana menumbuk padi, membuat suara yang saling bersautan. Bertalu-talu saling berirama, membangunkan sang raja fajar, mengira bahwasannya mentari telah terbit. Kokok ayam pun berbaur dengan suara orang-orang yang menumbuk pagi itu, padahal mentari masih terlelap, dan belum juga muncul.
Sebagian perempuan yang lain mengibaskan selendang warna-warni berwana orange dan kuning milik mereka, membuat warna tiruan. Seolah fajar telah menyingsing. Suara – suara itu terdengar menggema hingga ke tengah hutan tempat dimana Sangkuriang dan bala tentaranya yang sedang menyelesaikan tugasnya itu. Suara itu merubah wajah para jin menjadi penuh kekhawatiran, mereka berhenti bekerja.
“Tuanku, ayam telah berkokok. Itu artinya mentari sudah mulai terbit, dan fajar telah menyingsing. Hari sudah pagi!” kata salah satu jin yang berwajah seram dengan otot yang kekar.
“Tidak! Itu tipuan”  jelas Sangkuriang tak percaya. Tapi, para jin itu tak menghiraukan apa yang dikatakan Sangkuriang. Kilauan warna dari selendang-selendang yang dikibarkan oleh para gadis-gadis desa itu membuat mereka percaya bahwa mentari mulai terbit. Mereka sangat takut akan fajar. Satu persatu dari merekapun pergi. Menghilang seperti kilatan cahaya. Sedang Sangkuriang mulai membara, ia berapi-api, menyuruh bala tentaranya untuk kembali dan menyelesaikan pekerjaannya yang hampir selesai.
“Tunggu, kalian mau kemana? Hey! Tugas kalian belum selesai” pekik Sangkuriang. Sayang, teriakannnya hanya seperti angin yang berhembus. Para jin itu telah menghilang. Ia hanya sendiri, berteriak-teriak tak karuan.
Di tengah gejolak nuraninya, Dayang Sumbi datang. Ia menyeringai ke arah Sangkuriang. Ia merasa menang kali ini, Sangkuriang gagal memenuhi janjinya.
“Kau gagal Sangkuriang! Mentari telah terbit dari ufuk timur sana” Sangkuriang balas menatap Dayang Sumbi tajam.
“Kau licik, Dayang! Ini semua ulahmu, aku tau itu” pekik Sangkuriang. Dayang Sumbi menanggapi amarah itu dengan senyuman.
“Terserah apa yang kau katakana Sangkuriang, bagaimanapun juga dan sampai kapan pun juga aku tak akan sudi menjadi isterimu! Sadarlah nak, aku ini ibumu!”
Entah hati Sangkuriang terbuat dari apa, ia tak luluh sama sekali. Ia enggan menerima kenyataan bahwa Dayang Sumbi adalah ibunya. Cintanya telah membutakan segalanya. Sangkuriang masih berkobar dengan amarah yang mendalam.
“Ah, Persetan kau Dayang!” di tendangnya perahu yang hampir jadi itu, perahu tersebut  melayang dan kemudian mendarat di sebuah lembah dengan keadaan terbalik. Perahu itu bermetafosis menjadi sebuah Gunung yang kita kenal dengan nama “Tangkuban Perahu”. Dan dengan seluruh kekuatannya, Sangkuriang menghacurkan bendungan. Air danau pun mengering dan menjadi sebuah dataran kering yang luas. Kau tau ? dataran kering itu telah berubah menjadi kota besar, yang sangat termasyhur di Jawa Barat. Kota besar itu adalah Bandung. Sebuah nama yang di ambil dari kata “Bendungan” .
ŒŒŒ
Seluruh perjuangan Sangkuriang mendapatkan Dayang Sumbi hanya sekedar utopia belaka. Semua paradigma tabu itu terkupas sudah. Takdir tak berada di pihaknya. Karena mereka berdua di takdirkan untuk menjadi seorang ibu dan anak. Dan tak akan mungkin lebih dari itu.

SELESAI
            

Gara-Gara Senja


Aku selalu menyukai senja, karena katanya ia selalu menyimpan cerita didalamnya, dan karena warnanya selalu terlihat cantik dengan blur-an warna orangenya yang anggun dan menawan. Ia juga menjadi saksi bisu atas rasa abstrak yang tak pernah rasional  layaknya bilangan yang tak terdefinisi. Aku tersenyum mengingat tentang itu, bagaimana tidak? Karena sampai detik ini, rasa itu masih tetap tumbuh dan berkembang subur di tempat yang paling dalam di nuraniku.
YYY
            Tiga tahun yang lalu…
            Hari itu, semua orang di kelas sibuk memperbicangkan tentang kontes pemilihan “Raja dan Ratu semalam” di malam valentine nanti. Padahal waktunya masih satu pekan lagi, masih terlalu lama untuk mempersiapkan hal yang terkesan hanya ajang untuk hiburan saja. Dan aku tak tertarik sedikitpun dengan kontes itu. Baiklah, itu bukan karena aku tak punya pacar atau pasangan yang akan diajak, tapi ini soal memanfaatkan suatu event  yang lebih baik dari sekedar hura-hura saja. Hari kasih sayang seharusnya di apresiasikan untuk orang-orang disekitar, seperti keluarga misalnya. Damn! Aku terus saja menggerutukan tentang hal ini.
            Suasana kelas masih tetap sama bisingnya dengan satu jam yang lalu, itu karena Pak Brian tak masuk jam ini. Tak ada rumus yang harus diingat, itu lebih baik! tapi, tetap saja aku harus mengerjakan tumpukkan tugas darinya. Seratus pertanyaan tentang aljabar yang nyaris membuatku muntah melihatnya. Ah, selalu seperti ini!
            “Nay, rajin banget sih lo ngerjain gituan! Mending lo gabung yuk sama kita, ngebahas buat acara valentine nanti!” ajak Syaqila sambil menggoyang-goyangkan pundakku dari belakang. Aku menoleh.
            “Ya, lo tau sendirikan gue sibuk akhir-akhir ini buat lomba pramuka, kalau ngga sekarang ya kapan lagi coba? Maaf banget yah!”
            Syaqila diam sejenak, ia menatapku tajam.
            “Lo kapan sih ngga sibuk sama kegiatan pramuka? Nay bentar lagi tuh lo 17 tahun, lo emang ngga bosen sendiri terus?” ada tekanan di setiap kata yang diucapkan Syaqila.
            “Haha, lo kalo ngomong kemana-mana Qil! Gue ngga sendiri, kan Gue punya kalian, sahabat-sahabat gue. Dan itu udah cukup!” cakapku seadanya.
            Kali ini Rara beranjak dari kursinya, ia duduk tepat di depanku.
            “Ya ampun Nay, bukan itu maksud kita! Kita pengen lo punya pacar, atau jangan-jangan lo lesbian lagi?”
            “Ish, lo kalo ngomong jangan ngawur, Ra! Gue normal kali” tukasku. Mereka selalu saja membicarakan tentang hal ini. Padahal aku hanya ingin menghabiskan masa sekolahku bersama mereka.
            “Kalo gitu, lo harus jadi Ratu semalam nanti, gimana? Setujukan, guys?” Anyapun ikut bicara. Aku mendengus pelan. Ah kenapa mereka harus maksa aku sih! Kan kalau balik lomba mukanya pasti hitam, dan dapet gelar itu ngga mungkin! Keluhku.  
            “Tapi, gue ngga mahir soal cinta, dan ngga mungkin dapet pasangan dalam waktu seminggu, gue ngga mau”
            “Ayolah cantik, kita percaya kok lo bisa! Lo mau kan berjuang buat kita?” Rara terlihat sangat memohon sekali.
            “Baiklah, untuk kalian dan persahabatan kita” kataku akhirnya. Aku tersenyum dan kami saling berpelukan. Aku benar-benar tak yakin atas keputusan yang baru saja ku buat. Ah semoga cinta cepat datang datang kembali. Ah Tuhan, bahkan aku lupa bagaimana cara mencintai dan merindu seperti masa yang lalu.
YYY
            “Gue pulang duluan yah!”
            “Besok jangan telat ya, Nay” pekik Raya. Suara itu terdengar remang-remang di gendang telingaku, ya mungkin karena jarakku sudah terlalu jauh dari  mereka. Aku memang selalu terburu-buru untuk segera pulang ke rumah selesai latihan, dan ini bukan karena ibu melarangku untuk pulang larut, tapi ini karena senja.
            Aku selalu menyempatkan untuk melihatnya di taman dekat rumah. Kirana senja membuatku selalu rindu untuk melihatnya. Untungnya, jarak tempat aku biasa latihan pramuka tak jauh dari rumahku. Jadi, aku bisa berlari atau berjalan secepat mungkin agar segera sampai di taman itu.
            Lihatlah! Senja itu tampak menawan bukan? Aku tersenyum menyaksikan keelokan kirana senja ini. Ia tak pernah mengecewakanku.
            “Nay, kamu suka senja juga?” suara itu membuyarkan pandanganku pada senja, aku menoleh ke arah suara itu. Ia tersenyum, sangat tampan sekali! Bukankahkah ia Adi, anak baru yang katanya jago banget sama pramuka? Oh My God! Dan Adi tau namaku! Ah, kok aku jadi nervous gini?
            Aku diam seribu bahasa, tak tau apa yang harus ku ucapkan. Kedua alisnya mengerut, ia menatapku tajam. Ah, aku belum pernah ditatap seperti ini oleh laki-laki manapun!
            “Nay, kamu ngga apa-apakan? Kok tiba-tiba wajah kamu merah gitu, habis itu pucat lagi” Tanya Adi, ada nada khawatir yang terdengar. Kacau! Nampaknya raut wajahku memerah, ini memalukan!
            “Aku nggak apa-apa, di! Mungkin kecapaian habis latihan tadi” balasku gugup. Sungguh! Tak biasanya aku seperti ini. Rasanya tak karuan, antara bahagia atau apalah itu. Sepertinya ada yang salah dalam diriku. Entahlah.
            “kalo gitu, aku anterin kamu pulang ya, Nay?” tawarnya. Ia masih menatapku seperti itu, namun terlihat bersahabat dengan senyuman di akhir kalimatnya.
            Aku menarik nafas sedalam mungkin. Mencoba menstabilkan jantungku yang berdetak kencang sekali. Berharap ia tak melihat kegugupan dalam diriku. Aku menyeringai hangat padanya.
            “tak usah, rumahku disana!” jawabku sambil menunjuk rumah bercat orange dan cream. Tepat! Seperti warna senja.
            “Oh yang itu, kalau gitu hati-hati di jalan ya, Nay” senyum itu tak pernah lepas menghiasi raut wajah Adi. Adi memang tak setampan laki-laki lain, tapi senyuman dan matanya yang khas mampu membuat wajahku  memerah dan jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Bahkan aku dapat merasakan detak jantung itu. Berdebar keras sekali!
            “iya, makasih Adi! Aku pulang dulu ya” kataku kemudian. Masih dengan kalimat yang terbata-bata, aku menyeringai ke arah Adi sejenak, lalu berlalu pergi meninggalkannya.
            Entah kenapa ada yang berbeda di sore ini, padahal warna senja tak pernah berubah sedikitpun, tapi ada desiran di sudut hatiku yang lain. Perasaan bahagia di campur dengan kegelisahan. Ya Tuhan, kenapa aku tak bisa berhenti untuk tidak memikirkan laki-laki itu! Rasa ini terlalu rumit jika harus ku jabarkan, bahkan mungkin rasa ini tak berbilang, tapi ia terus saja berpangkat dan bermetafosis menjadi sebuah kurva yang tak ada batasnya. Rasa ini benar-benar membingungkanku. Tapi, aku menyukainya. Ada apa ini?
YYY
            Kata orang yang namanya cinta itu tak seperti mie gelas yang langsung siap saji, ia memerlukan proses dan terkadang datang secara tiba-tiba. Tapi, ia juga bisa datang karena terbiasa. Berawal dari rasa kagum, dan pada akhirnya perlahan cinta itu tumbuh.
Meski rasa itu mampu menyiksa setiap insan yang merasakannya, menyiksa kala mereka tengah di landa rindu. Sesakit apapun yang terasa karena cinta yang salah, tak pernah membuat mereka trauma untuk kembali jatuh cinta, bahkan kepada orang yang sama. Cinta memang benar-benar membingungkan, kadang terasa indah dan kadang penuh dengan duka.
YYY
            Ku fikir, aku tak akan bertemu dengan Adi sesering ini. Adi selalu ada dimana-mana dan terkadang muncul tiba-tiba, lalu menghilang seperti hantu. Mungkin itu karena aku dan Adi sama-sama aktifis dalam pramuka, jadi tak heran aku akan selalu bertemu dengannya setiap saat di lapangan.
            Namun, aku belum terbiasa dengan rasa aneh yang tiba-tiba saja muncul dalam diriku. Semakin aku sering bertatap muka dengannya, aku semakin tak bisa berhenti untuk terus memikirkannya. Dan ketika mata ini tak menemukan sosoknya sedetikpun, ia pasti akan mencari, ada rindu yang ku rasa. Apa aku sedang jatuh cinta?
            “Nay, bengong melulu!” tegur Rara. Aku terkesiap, Rara benar-benar membuatku kaget.
            “ish, lo ya nyebelin banget!” ujarku memasang wajah sebal dengan bibir manyun. Rara terkekeh melihat ekspresiku.
            “habis lo bengong melulu, eh gimana soal besok malem?” lagi-lagi Rara menanyakan soal itu.
            “ya ampun, Ra! Lo nggak liat wajah gue kebakar gini gara-gara lomba kemaren, hah? Emangnya ada cowok yang mau jadi pasangan gue buat besok malem?” keluhku.
            “ada, dan orang itu aku!” suara itu muncul tiba-tiba, aku dan Rara menoleh bersamaan ke arah dimana suara itu berasal. Sosok itu tersenyum seperti biasa. Rara bangkit dari kursi taman yang kami duduki, raut wajahnya berubah seketika. Merah padam, seperti naga yang bersiap menyemburkan apinya. Rara tak suka mendengar kalimat itu terucap dari bibir Adi.
            “Adi? Kamu bercanda kan?” Tanya Rara tak sabar. Aku menatap mereka heran.
            “nggak, Ra! Aku nggak pernah bercanda soal hati, aku sudah lama memperhatikan Naya” ujar laki-laki yang selalu mendebarkan hatiku. Dan kali ini, ia membuat wajahku kembali memerah. Ah debar di hatiku mulai lagi.
            “oh, jadi ini cewek yang selalu kamu bicarakan itu?” Rara diam. Raut wajahnya penuh dengan kekecawaan, ia menatapku dengan tangis yang di tahannya.
            “Nay, gue nggak nyangka lo setega ini sama gue”  ujarnya dan bendungan air  mata itu akhirnya pecah juga.
“Tapi ini, nggak seperti yang lo kira, Ra! Gue nggak tahu apa-apa soal ini” jelasku. Rara tak lagi berbicara sepatah katapun, air mukanya menggambarkan kekecawaannya yang teramat mendalam.  Rara pergi dengan tangisnya, aku tahu ia pasti sangat terluka.
Kali ini aku balas menatap Adi.
“Adi, harusnya tuh kamu mencitai Rara! Dia tulus mencintai kamu”
“tapi Nay, aku nggak pernah menaruh perasaan apa-apa sama Rara, aku cuman cinta sama kamu!” aku menatap kedua mata Adi yang cerah. Ya, Adi! aku juga mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu. Ah, ini tak mungkin!
“Apa katamu? Cinta? Kamu tau arti cinta itu apa, hah?” tanyaku ketus, aku tak kuasa mentap matanya lagi.
“ya, aku cinta sama kamu! Aku tau apa itu cinta, dan kalaupun kamu nggak percaya, aku bisa membuktikannya sama kamu!” jelas Adi dengan penuh kesungguhan.
“oke, kalau kamu emang bener-bener cinta sama aku, mulai dari detik ini jauhin aku!” pintaku pelan.
“tapi Nay…” aku segera pergi dari hadapan Adi. Berlari sekencang mungkin bersama luka dalam nuraniku. Ah, kenapa cinta harus datang di saat yang tak tepat? Bagaimana bisa aku tak tahu, kalau Rara mencintai Adi? Seandainya sejak awal aku tahu tentang ini, mungkin aku tak akan membiarkan rasa ini tumbuh di dalam nuraniku. Dan aku tak akan melukai hati Rara, juga menghancurkan persahabatan kami yang sudah hampir empat tahun ini. Aku benar-benar mengacaukan semuanya.
YYY
Senja yang berbeda. Mungkin karena nuraniku sedang terluka. Kisah tentang rasa abstrak itu harus ku akhiri segera. Padahal, aku baru saja mengingat perihal rindu yang telah lama tak pernah ku rasakan lagi setelah hatiku patah sekian tahun yang lalu. Dan rindu ini harus kembali berbuah menjadi luka. Tapi ini sudah menjadi skenario-Nya. Aku pasrah.
Aku masih memandangi senja di tempat yang biasa. Mencoba memulihkan hati yang patah. Rasa itu seperti senja. Selalu terlihat indah tapi tak abadi. Aku lupa akan hal itu. Rasa yang mereka bilang cinta itu membuatku enggan berlalu, ingin tetap memandanginya dan selalu merangkaikan kata rindu di setiap sela-sela angin yang berhembus. Berharap angin mau menyampaikan salam rinduku pada senja. Namun, Waktunya memang tak tepat.
“Naya” suara itu sayup-sayup terdengar. Aku terhenyak dalam lamun panjangku, memalingkan wajah pada pemilik suara tadi. Ia tersenyum ke arahku.
“Ra, gue bisa jelasin semuanya! Ini nggak seperti yang lo bayangin” kataku dengan nada yang sedikit memohon.
“ini bukan kesalahan lo kok, Nay! Gue sadar, hati itu nggak bakalan bisa di paksakan” aku menatap Rara heran.
“maksud lo?”
“lo berhak bahagia sama orang yang cinta sama lo, dan gue juga tau lo punya rasa yang sama ke Adi kan?” aku diam.
“jangan khawatir, gue baik-baik aja kok Nay” Rara tersenyum sangat bersahabat.
“tapi, lo akan tetep jadi sahabat gue kan, Ra?” Rara mengangguk dengan senyum yang masih melekat pada wajahnya yang cantik.
“dan malam ini, lo sama Adi harus jadi Raja dan Ratu semalam!” ujarnya lagi penuh semangat. Aku hanya tersenyum mengiyakan. Senja yang ku fikir akan menjadi saksi tangis senduku, ternyata tidak. Banyak hikmah yang bisa ku teguk dalam secangkir kisah hari ini. Nurani yang sempat tergores perlahan membaik. Luka itu sembuh seketika. Mungkin ini akhir yang di sebut bahagia.
YYY
“kamu terlihat cantik malam ini” kata Adi yang tiba-tiba menghampiriku. Sial! Pipiku memerah lagi. Aku tersipu sangat tersipu karenanya. Bahkan ia tak hentinya memandangiku dengan tatapannya. Detak jantung ini kembali berdegup lebih kencang dari biasanya. Aku bisa menjadi gila karenanya.
“terimakasih” ujarku terbata. Adi terkekeh.
“kau selalu seperti itu” aku hanya bisa menunduk. Tak dapat berkata apa-apa lagi.
Dan malam itu, pemilihan “Raja dan Ratu semalam” pun dimulai. Ternyata dugaanku tentang kegiatan hura-hura itu salah besar. Rupanya pihak sekolah telah mengemas acara ini sebaik mungkin. Setiap pasangan di tuntut untuk bisa mengungkapkan argumentasi masing-masing tentang hari kasih sayang yang seharusnya, layaknya diskusi. Tapi, ini menyenangkan! Tak membosankan seperti diskusi biasanya. Selain itu ada sesi dimana setiap pasangan harus bisa menampilkan bakat mereka. Sesi itu di adakan untuk menghibur para tamu undangan. Karena acara ini juga mengundang anak-anak sekolah yang kurang beruntung. Dan di akhir acara di adakan penggalangan dana untuk disumbangkan kepada masyarakat yang tak mampu, penggalangan dana tersebut dilakukan oleh setiap pasangan. Pasangan yang mendapatkan galangan dana yang paling banyak akan mendapat nilai plus dari juri.
YYY
Skenario malam itu telah tertulis, tak pernah ku sangka, aku dan Adi yang mendapat gelar itu. Akhir yang bahagia, bukan? Meski setelah lulus SMA kemarin aku dan Adi memutuskan untuk kembali menjalani hati masing-masing. Bukan karena tak cocok lagi. Tapi aku dan Adi memutuskan untuk menunda rasa ini dulu. Karena aku percaya Tuhan menitipkan rasa ini sebagai anugerah. Aku tak mau saja mengotori anugerah yang diberikan-Nya dengan noda-noda yang tak harusnya ku perbuat.

Dan kami membumbui rasa ini tak hanya dengan cinta, tapi juga saling percaya dan menjaga hati agar tak jatuh kepada hati yang lain.