“Kau
tak bisa menikahiku, Sangkuriang!” ujar seorang gadis cantik dengan kebayanya
yang anggun, raut wajahnya tampak sedikit memohon.
“Kenapa tidak, Dayang? Bukankah kita saling
mencintai?” jawab sang pemuda berperawakan gagah bak ksatria yang selalu
diceritakan di dongeng-dongeng zaman dulu.
Gadis itu hanya menatapnya dalam
kebisuan. Bola matanya yang terang mulai di penuhi tetesan bening laksana embun
pagi. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ah
mengapa cinta harus datang di tempat yang tak seharusnya ia ada? Mengapa sang
nurani ini ikut bimbang atas rasa yang tak pernah di undang? Tidak! Nurani tak
boleh ikut serta dalam hal ini, ia harus menggunakan logikanya kali ini.
Gadis itu menarik nafas perlahan. Menatap dalam sepasang mata yang dulu
dicarinya.
“Karena aku adalah ibumu,
Sangkuriang! Dan rasa cintaku yang tengah ku rasakan padamu ini bukan cinta
seorang gadis kepada kekasihnya, tapi ini cinta seorang ibu pada anaknya. Kau
mengertikan?” pemuda tampan yang bernama Sangkuriang itu terdiam. Ini tidak
mungkin!
“Hahaha, kau fikir aku mempercayaimu
hah? Kau berbohong Dayang! Mana mungkin
kau ibuku, kau tau? Ibuku telah tiada dan kalaupun dia ada sekarang, parasnya
tak mungkin serupawanmu, Dayang!” Sangkuriang tak menggubris apapun yang di
katakana gadis jelita itu. Nampaknya nurani Sangkuriang telah buta akan cinta
yang teramat mendalam pada gadis desa itu.
Dayang Sumbi masih tetap diam, tak
lagi berbicara sepatah katapun. Jiwanya remuk, hancur berkeping-keping,.
Nuraninya terhunus tajam. Tuhan, apa yang
harus ku lakukan? Dia terus saja bergumam dalam hatinya, menuntut Tuhan
untuk segera mengeluarkannya dari jeruji ini. Terlalu rumit, dan harusnya tak
seperti ini.
Mereka berdua saling bertatapan,
saling menerka perasaan masing-masing. Ini bukan sekedar cinta terlarang, tapi
ini juga soal keyakinan. Bagaimanapun juga, Dayang Sumbi harus bisa membuat
pemuda itu percaya akannya dan berhenti untuk mencintainnya seperti ini. Karena
mereka tak tercipta dari senja yang sewarna, dan Dayang Sumbi tahu, ia tak akan
mungkin bisa menggandakan warna senja itu. Atmosfer kegundahan masih
menyelimuti mereka berdua. Tuhan tengah membolak-balik perasaan mereka saat
ini.
Kau tau? Ini merupakan kisah
terpopuler dari Tanah Sunda, kisahnya tak pernah luntur dari nurani masyarakat
sunda sekitar. Ia selalu terkenang sepanjang masa. Kisah ini selalu diceritakan
dari generasi ke generasi, entah sudah berapa generasi yang masih mengenang
kisah cinta ini. Ini bukan hanya sekedar legenda, tapi juga mengajarkan kita
tentang kemana cinta seharusnya berlabuh.
Ya,
ini kisah tentang seorang gadis cantik yang selalu menghabiskan waktunya dengan
merajut. Ya, dan sebuah skenario baru telah tercipta untuknya setelah itu.
Kemudian, takdir Tuhan yang tak mungkin di tepisnya jauh, ia jalani dengan penuh
keikhlasan, meski pada akhirnya ia sadar, masa tak pernah berada di pihaknya.
Sang raja siang masih setia
menyinari bumi dengan hangat sinarnya, dan langit di atas sana selalu biru
akhir-akhir ini, tak ada kabut yang
menutupinya. Awan-awan putih juga ikut memberikan ukiran dan ornament yang indah
pada sang langit. Mugkin itu menjadi salah satu alasan, mengapa bumi tak akan
pernah sama dengan langit. Langit selalu pandai mengekspresikan dirinya setiap saat, tak seperti bumi yang
tetap seperti itu. Dan diantara hamparan bumi yang begitu luas itu, hidup
seorang gadis cantik jelita.
Gadis
itu tengah asyik merajut. Namun, tiba-tiba saja bola rajutan itu terjatuh dari
tangannya entah kemana, dan entah apa yang merasuki fikirannya saat itu. Ia
berteriak meminta tolong kepada orang-orang yang ada disekitar rumahnya, emosinya tak
terkontrol begitu saja. Mungkin keadaan hatinya tengah kacau sekali.
Bahkan
ia bertekad dalam dirinya, bahwa siapa saja yang dapat menemukan bola rajutan
itu, jika ia perempuan akan di jadikannya sebagai saudara dan jika ia laki-laki
maka ia akan di jadikkannya sebagai suami. Saat tekad itu terucap dalam
nuraninya, terdengar suara kilat yang menggelegar, entah apa maksud dari suara
itu. Yang jelas, ia teramat sangat terkejut. AAh, tak biasanya ia seperti ini karena hanya kehilangan bola rajutan
saja, bukankah ia bisa membelinya lagi? EEntahllah!
Di tengah kegundahan nuraninya itu, seekor anjing
berserta bola rajutan miliknya datang. Anjing itu bernama Tumang, dan ternyata
ia bukan anjing biasa, ia merupakan jelmaan dari sang pangeran yang tampan dari
kerajaan Kahyangan. Dan entah bagaimana jalinan cinta itu terjadi antara
keduanya, aku tak tau. Mereka saling mencintai satu sama lain, dan gadis itu
harus menepati janjinya bukan? Tentu, merekapun menikah pada akhirnya dan hidup
bahagia di sebuah rumah sederhana di tengah hutan.
Akan tetapi, ini bukan akhir dari
kisah ini. Kebahagiaan dalam pernikahan mereka merupakan awal dari kisah ini di
mulai, karena sepertinya takdir Tuhan tak menghendaki kebahagiaan mereka
berlangsung lama. Meski pada awalnya kebahagiaan mereka bertambah tatkala
Dayang Sumbi melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan dan gagah
seperti ayahnya, sayangnya bayi laki-laki itu menjadi boomerang untuk keluarga
mereka nantinya.
Roda waktu terus berputar di setiap kali
mata ini berkedip, di setiap nafas yang berhembus, layaknya siang dan malam yang selalu berganti
setiap harinya. Kini, bayi laki-laki itu telah tumbuh menjadi anak laki-laki
yang pintar dan pemberani, anak laki-laki itu bernama Sangkuriang. Setiap
harinya ia selalu berburu ke hutan dan mencari buah-buahan untuk di makan di
temani Tumang anjingnya. Sangkuriang tak pernah tahu anjing yang selalu
bersamanya itu adalah ayah kandungnya.
Pada
suatu hari, tak seperti biasanya hutan tampak sepi sekali, entah ada angin apa
yang membuat suasananya seperti kuburan. Tak ada tanda-tanda hewan berkaki
empat hidup di sini. Aneh! Sepasang mata milik Sangkuriang kecil masih terus
waspada, kedua bola matanya masih terus bergerak mengawasi sekitar hutan,
berharap seekor kijang dapat di burunya kali ini. Setelah sekian lama mencari,
akhirnya ekor mata milik Sangkuriang
menangkap dengan jelas binantang yang tengah diincarnya itu datang mendekat.
Sangkuriang tak bergerak sedikitpun. Ia tak mau buruannya kabur karena suara
langkahnya.
Detak jantung Sangkuriang terdengar
lebih keras dari biasanya, nafasnya tak teratur. Aliran darahnya ikut mengalir
cepat. Sangkuriang memang sudah tak sabar menghunuskan anak panahnya itu. Saat
seekor kijang mulai dekat dengan posisi tempatnya berdiri, ia segera melepaskan
anak panahnya pada objek yang diincarnya. Ah sial! Anak panah itu melesat jauh
ternyata.
“Hey, Tumang! Kejar kijang itu!”
sentak Sangkuriang.
Anjing itu mengejar buruannya
diikuti anak lelaki tadi. Mereka terus berlari tanpa hentinya. AAh, kemana kijang itu? kenapa ia tak
terlihat juga? Sangkuriang menyerah.
Ia tak sanggup lagi berlari lebih jauh dari ini. Nafasnya tak teratur. Peluh
sudah membanjiri tubuhnya.
“Sial! Kita kehilangan jejaknya, Tumang!” keluh Sangkuriang sembari
menyeka peluh yang terus saja keluar.
Sangkuriang mulai khawatir, hari
mulai gelap dan ia tak mendapatkan binatang buruan satupun. Ibunya pasti lama
menunggu. Ia tak mungkin pulang dengan tangan kosong, ibunya akan kelaparan,
begitupun juga dengannya. Sangkuriang termenung diam, ia mulai memutar otaknya.
Mencari jalan keluar. Dan tiba-tiba saja akal picik Sangkuriang mulai merajai
fikirannya. Ia melirik Tumang yang masih kelelahan berdiri disampingnya. Tanpa
fikir panjang, dan tanpa mempertimbangkan apapun, di tancapkannya pisau tajam
tepat di jantung anjing itu.
Tumang meraung kesakitan. Berharap
Sangkuriang melepaskan pisaunya. Tapi, Sangkuriang tak memperdulikan anjing
itu. Ia membunuh Tumang tanpa belas kasihan sedikitpun. Toh, Tumang hanya
seekor anjing peliharaannya, dan ia hanyalah seekor binatang. Sangkuriang
mencoba meyakinkan dirinya, bahwa apa yang ia lakukan adalah benar adanya.
“Kau baik-baik saja, Sangkuriang?”
wajah itu tampak khawatir sekali saat anak lelakinya datang.
“Kau tak perlu menghawatirkanku
seperti itu, ibu! Aku sudah besar” Sangkuriang tersenyum.
“Tapi, tak biasanya kau pulang
selarut ini” air mukanya masih tetap sama. Sama khawatirnya.
“Lalu, dimana Tumang?” Sangkuriang
diam. Kedua alisnya mengerut, menatap Sangkuriang penuh curiga.
“Ayolah bu, jangan berlebihan
seperti itu, Tumang sedang bermain bersama kawanan anjing yang lain, nanti juga
dia pulang sendiri. Lebih baik ibu masakkan daging kijang ini untuk makan kita,
ya bu?” nada terakhir ucapannya itu sedikit memelas, Sangkuriang masih tetap
dengan senyumannya, berharap ibunya mau percaya.
“Baiklah, ayo masuk! Ibu akan
memasakannya untukmu” raut wajahnya kini berubah, menjadi sangat teduh dan
penuh dengan senyuman. Ah akhirnya !
Rumah ini memang terlampau
sederhana, dinding-dindingnya terbuat dari kayu, meski begitu atmosfer dalam
rumah ini selalu stabil. Maksudku, iklimnya selalu hangat dan tenang. Itu mungkin
karena kehidupan disini selalu penuh kedamaian dan cinta antara anak dan ibu.
Sayangnya, tidak dengan malam ini,
bahkan langit juga seperti larut dalam suasana rumah. Memang terlihat tampak
damai diantara keduanya, padahal Dayang Sumbi masih tetap dengan
kekhawatirannya. Dan Sangkuriang mencoba menutupi kebohongannya,
“Sangkuriang, daging apa ini?
Rasanya berbeda dengan daging kijang yang sering kau bawakan untukku”
Sangkuriang tiba-tiba saja tersedak, ia segera meminum segelas air putih yang
ada di dekatnya.
“Kau menyukainya ibu” Tanya
Sangkuriang terbata.
“Tentu, nak! Rasanya lezat sekali”
wanita itu menyeringai dengan hangat.
“Ah syukurlah, kau menyukainya ibu.
Itu daging Tumang” nampaknya kalimat itu mengalir dengan jelas dari bibir
Sangkuriang, lantas orang yang diajaknya bicara menatap Sangkuriang geram. Raut
wajahnya bermetafosis 180 derajat dari sebelumnya. Amarahnya mulai
meledak-ledak siap untuk dikeluarkan.
“APA KAU BILANG? Tega sekali kau
bunuh Tumang!” Pekik Dayang Sumbi.
“tapi dia hanya seekor anjing ibu!
Mengapa kau lebih peduli pada anjing itu, hah?” tukas Sangkuriang. Amarah
Dayang Sumbi mulai bergejolak, ada tangis yang mengiringi.
“tidak Sangkuriang! Dia ayahmu, ayah
kandungmu” ujar Dayang Sumbi di sela tangisnya.
“tidak mungkin, ibu! Kau berbohong,
kau bohong!” Dayang Sumbi menatap Sangkuriang kecewa. Sebuah sisir kayu yang
ada di atas meja, di ambilnya.
Amarah itu telah merajai hati Dayang
Sumbi. Tak ada ampun untuk Sangkuriang, sisir itu di lemparnya mengenai kepala
Sangkuriang. Sangkuriang mengaduh kesakitan.
“baik, sekarang kau angkat kaki dari
rumah ini! Dasar anak durhaka!” pekik Dayang Sumbi. Sangkuriang menatap ibunya
sekejap. Nuraninya hancur berkeping-keping. Dengan tangis yang mengiringi
Sangkuriang pergi meninggalkan rumah itu. Ia berjalan sendiri di tengah malam
yang dingin dan derasnya hujan. Hatinya terluka sangat parah. Namun ia tak bisa
menyalahkan keadaan, karena bagaimanapun juga ini adalah kesalahannya.
Sedangkan di rumah itu, Dayang Sumbi
masih menangis sejadi-jadinya meratapi nasibnya yang menyedihakan. Ada sedikit sesal
dalam lubuk hatinya. Ia seharusnya tak bersikap seperti itu pada Sangkuriang.
Tapi nasi telah masak menjadi bubur. Ia tak mungkin mengembalikan waktu yang
telah tertoreh. Ini sudah menjadi bagian dari scenario-Nya.
Lalu bagimana setelah ini? Konon
katanya saat Dayang Sumbi tengah terlelap dalam tidurnya. Sang pangeran datang
di mimpinya. Ia masih seperti dulu, tampan dan gagah.
“jangan khawatir isteriku, kau tak
akan kehilanganku sampai kapanpun juga, karena aku selalu ada disini, di
hatimu” Dayang Sumbi menatapnya ragu. Sang pangeran mendekatinya, lantas ia
membelai rambutnya penuh cinta.
“hati dari Tumang yang kau makan itu
akan membuatmu tetap awet muda sampai kapanpun, dan pada saatnya nanti kau akan
bertemu dengan Sangkuriang” tangan Dayang Sumbi di pegangnya erat. Sang
pangeran mencoba meyakinkannya. Dayang Sumbi pun tersenyum, ia memeluk erat suaminya
itu.
Dan sejak saat itu Dayang Sumbi tak
pernah tua. Ia akan tetap awet muda sampai kapanpun juga.
Bumi akan terus berputar, siang dan
malam akan terus bergulir, berganti .dengan senang hati mengikuti aturan Sang
Pencipta. Ayam masih berkokok seperti biasa dan burung selalu bersenandung
syahdu. Tak ada yang berbeda dari hutan ini, masih tetap sama seperti beberapa
belas tahun kemarin.
Namun zaman akan terus berkembang
seiring dengan kemajuan teknologi yang banyak ditemukan oleh banyak ilmuwan
dari berbagai belahan dunia. Tapi mungkin hal itu tak terlalu berlaku untuk
sebuah rumah sederhana yang masih dengan dinding yang sama terbuat dari anyaman
rotan, dan atap yang terbuat dari daun-daun kelapa yang mengering. Sangat
sederhana sekali, dan mungkin rumah itu tak layak lagi di tempati oleh seorang
wanita cantik nan baik hati.
Rumah ini memiliki banyak sejarah
bagi wanita itu. Mungkin itu salah satu alasan mengapa ia tak mau meninggalkan
rumah ini. Di pekarangan rumahnya ia selalu duduk termenung. Menanti sosok yang
telah lama lenyap dari pandangan matanya. Sosok yang dulu pernah di marahinya.
Wanita itu benar-benar merindukan sosok itu.
Hingga pada akhirnya, waktupun
berbicara. Skenario itu telah tercipta sebelumnya. Seorang pemuda gagah berani
dari desa sebrang datang berkelana ke hutan dimana wanita itu berada. Mereka
berdua tak sengaja berjumpa di sana. Kedua mata mereka saling berbicara. Pemuda
gagah dan tampan itu jatuh cinta pada pandangan pertama pada wanita tadi.
Mungkin ini yang selalu di pergunjingkan orang-orang tentang rasa yang datang
dari mata lalu turun ke hati.
Kau tau? Cinta diantara mereka tumbuh dan berkembang dengan sendirinya.
Mereka seolah diciptakan Tuhan untuk bersama. Menjalin kasih dan berbagi rasa
yang mereka sebut dengan cinta. Namun masa tak pernah membiarkan rasa itu abadi
dan bertengger lama di dahan hati mereka. Seperti keindahan senja yang hanya
dapat dinikmati untuk waktu yang singkat.
Setelah sekian lama hubungan asmara
mereka terjalin, pemuda dari desa sebrang yang mungkin dari desa entah berantah
itu berniat meminangnya. Sebelum jawaban itu terucap dari sang wanita, ia meminta
wanita berparas anggun itu untuk membuka ikat kepala milik dirinya. Ia ingin
wanita itu melihatnya dengan apa adanya ia sekarang, dari atas hingga bawah. Ia
tak ingin menutupi segala kekurangannya atau apapun itu dari wanita yang
dicintainya.
Sayangnya, seketika itu juga raut
wajah wanita bernama Dayang Sumbi itu menjadi muram, cahaya yang terpancar dari
wajahnya seketika redup. Kedua alisnya mengerut, matanya tertuju pada sebuah
luka di atas kepala pemuda gagah itu. Luka itu sama persis di tempat yang sama
ketika ia memukul Sangkuriang, anaknya beberapa belas tahun yang lalu.
“Luka apa ini?” tanyanya penuh
dengan kecemasan yang luar biasa.
“Ini hanya luka biasa, aku lupa
karena apa, tapi sejauh yang ku ingat luka ini sudah ada sejak aku kecil”
Dayang Sumbi tertegun. ztak mungkin! Dayang Sumbi menatap lekat kedua
mata pemuda yang ada di hadapannya. Ia tak salah, dugaannya benar. Pemuda ini
adalah Sangkuriang, anaknya yang hilang dulu. Ia tak mungkin salah, firasatnya
selalu benar.
Detik itu juga, dunia seolah ambruk
seketika. Bukan bahagia yang ia rasa, melainkan kegundahan hebat yang
menyelimuti nuraninya. Ia tak mungkin mencintai anaknya sendiri. Paradoks kali
ini benar-benar absurd. Penuh dengan euforia. Tubuhnya seakan dilempar dan
dihempaskan dengan keras, membangunkannya dari mimpi indah kemarin. Ini nyata!
“Baiklah, aku mau menjadi isterimu!
Tapi dengan satu syarat” Sangkuriang menyeringai penuh kemenangan.
“Apa itu?” nadanya terkesan sangat
angkuh.
“Aku ingin kau membuatkan perahu
yang cantik dan sebuah danau untuk kita berlayar nanti dalam satu malam, kau
sanggup?”
“Tentu Dayang, dengan senang hati
aku akan melakukannya untukmu” Sangkuriang
pun berlalu setelah menyanggupi
semua syarat yang diajukan oleh Dayang Sumbi agar ia bisa menikahi Dayang
Sumbi. Dayang Sumbi tak tahu bahwasannya Sangkuriang bukanlah pemuda biasa. Ia
amat perkasa dan mempunyai ribuaan jin yang akan membantunya memenuhi syarat
itu.
Sedangkan hati Dayang Sumbi teramat
kalut dan bimbang, ia seolah sedang mengahadapi sejuta pilihan di depannya.
Takdirnya seolah sedang di undi, di bolak-balik bagaikan sebuah dadu yang siap
di gulirkan begitu angka itu muncul, takdirnya pun terbuka. Bibirnya terus
berkomat-kamit memanjatkan do’a kepada yang Maha Kuasa, memohon agar anaknya
gagal, dan tak jadi menikahinya. Ia ingin kehidupannya kembali normal seperti
sedia kala. Harap cemas, menyelimuti hatinya. Bagaimanapun dilubuk hati yang
terdalam ia jah hati pada putranya, tapi ia akan tetap menjadi ibu untuk
Sangkuriang. Bukan sebagai isteri seperti yang diinginkan Sangkuriang atasnya.
Kirana mentari telah tergantikan
oleh kirana rembulan yang terang benderang di hamparan langit yang hitam dengan
taburan bintang yang berkelap-kelip. Hewan yang aktif mencari makan di malam
hari mulai keluar dari tempatnya setelah tidur mereka yang panjang di siang
hari. Suara burung hantu mulai bersautan, malam semakin larut.
Dan disana, di tengah hutan sana
seorang pemuda dengan ambisinya yang kuat tengah membangun sebuah danau yang
luas, dan perahu yang sangat besar nan indah untuk memenuhi syarat yang di
ajukan oleh wanita yang dicintainya.
Pasukan jin masih sibuk dengan tugas
mereka masing-masing, dan pemuda itu hanya berdiri, mengawasi setiap
gerak-gerik yang dilakukan prajuritnya. Matanya masih terjaga. Tak sedikitpun
ia terlelap. Ia tau, ia pasti bisa menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari
terbit nanti.
Masih di tempat yang sama, hanya
saja jaraknya berbeda. Sekitar 5 m dari tempat pemuda itu berdiri, di belakang sebuah
pohon mahoni yang besar, seorang wanita berdiri, mengamati apa yang dilakukan
pemuda itu. Degup jantungnya keras sekali. Aliran darahnya menjalar cepat.
Wajahnya Nampak pucat. Ia khawatir, cemas dan gelisah tak karuan. Wanita itu
berfikir keras, mencari cara untuk mengagalkannya.
Ia
berlari menuju ketempat perkampungan, membangunkan para gadis desa, meminta
bantuan mereka untuk mengagalkan Sangkuriang. Malam itu serempak seluruh gadis
desa disana menumbuk padi, membuat suara yang saling bersautan. Bertalu-talu
saling berirama, membangunkan sang raja fajar, mengira bahwasannya mentari
telah terbit. Kokok ayam pun berbaur dengan suara orang-orang yang menumbuk
pagi itu, padahal mentari masih terlelap, dan belum juga muncul.
Sebagian perempuan yang
lain mengibaskan selendang warna-warni berwana orange dan kuning milik mereka,
membuat warna tiruan. Seolah fajar telah menyingsing. Suara – suara itu terdengar
menggema hingga ke tengah hutan tempat dimana Sangkuriang dan bala tentaranya
yang sedang menyelesaikan tugasnya itu. Suara itu merubah wajah para jin
menjadi penuh kekhawatiran, mereka berhenti bekerja.
“Tuanku, ayam telah
berkokok. Itu artinya mentari sudah mulai terbit, dan fajar telah menyingsing.
Hari sudah pagi!” kata salah satu jin yang berwajah seram dengan otot yang
kekar.
“Tidak! Itu
tipuan” jelas Sangkuriang tak percaya.
Tapi, para jin itu tak menghiraukan apa yang dikatakan Sangkuriang. Kilauan
warna dari selendang-selendang yang dikibarkan oleh para gadis-gadis desa itu
membuat mereka percaya bahwa mentari mulai terbit. Mereka sangat takut akan
fajar. Satu persatu dari merekapun pergi. Menghilang seperti kilatan cahaya.
Sedang Sangkuriang mulai membara, ia berapi-api, menyuruh bala tentaranya untuk
kembali dan menyelesaikan pekerjaannya yang hampir selesai.
“Tunggu, kalian mau
kemana? Hey! Tugas kalian belum selesai” pekik Sangkuriang. Sayang,
teriakannnya hanya seperti angin yang berhembus. Para jin itu telah menghilang.
Ia hanya sendiri, berteriak-teriak tak karuan.
Di tengah gejolak
nuraninya, Dayang Sumbi datang. Ia menyeringai ke arah Sangkuriang. Ia merasa
menang kali ini, Sangkuriang gagal memenuhi janjinya.
“Kau gagal Sangkuriang!
Mentari telah terbit dari ufuk timur sana” Sangkuriang balas menatap Dayang
Sumbi tajam.
“Kau licik, Dayang! Ini
semua ulahmu, aku tau itu” pekik Sangkuriang. Dayang Sumbi menanggapi amarah
itu dengan senyuman.
“Terserah apa yang kau
katakana Sangkuriang, bagaimanapun juga dan sampai kapan pun juga aku tak akan
sudi menjadi isterimu! Sadarlah nak, aku ini ibumu!”
Entah hati Sangkuriang
terbuat dari apa, ia tak luluh sama sekali. Ia enggan menerima kenyataan bahwa
Dayang Sumbi adalah ibunya. Cintanya telah membutakan segalanya. Sangkuriang
masih berkobar dengan amarah yang mendalam.
“Ah, Persetan kau
Dayang!” di tendangnya perahu yang hampir jadi itu, perahu tersebut melayang dan kemudian mendarat di sebuah
lembah dengan keadaan terbalik. Perahu itu bermetafosis menjadi sebuah Gunung
yang kita kenal dengan nama “Tangkuban Perahu”. Dan dengan seluruh kekuatannya,
Sangkuriang menghacurkan bendungan. Air danau pun mengering dan menjadi sebuah
dataran kering yang luas. Kau tau ? dataran kering itu telah berubah menjadi
kota besar, yang sangat termasyhur di Jawa Barat. Kota besar itu adalah
Bandung. Sebuah nama yang di ambil dari kata “Bendungan” .
Seluruh perjuangan
Sangkuriang mendapatkan Dayang Sumbi hanya sekedar utopia belaka. Semua
paradigma tabu itu terkupas sudah. Takdir tak berada di pihaknya. Karena mereka
berdua di takdirkan untuk menjadi seorang ibu dan anak. Dan tak akan mungkin
lebih dari itu.
SELESAI