sumber : http://beritadaerah.co.id/wp-content/uploads/2013/11/Sunset-Pantai-Piaman-smtra.jpg |
Debur ombak di laut sana selalu menjadi alunan musik yang bermelodi syahdu bagi para penduduk di pesisir pantai, terutama bagi Alvin. Ia juga sangat menyukai suatu momen ketika mentari terbit lalu tenggelam, karena pada saat itu langit terlihat indah dengan ornament orange yang mem-blur menyatu dengan langit yang biru. Ia menikmati masa anak-anaknya dengan penuh keceriaan, meski semester ini ia terpaksa keluar dari bangku sekolah untuk bekerja membantu ayahnya mencari ikan di laut lepas.
Alvin
sempat kehilangan semangat dalam hidupnya, keceriaan yang selalu tergambar dari
wajahnya yang polos itu harus tergantikan dengan kesedihan, ia begitu khawatir
akan masa depannya, tapi ia juga tak tega melihat sang ayah membanting tulang
sendirian di laut lepas untuk keluarganya. Belum lagi banyaknya
pengeksploitasian terumbu karang di laut ini membuat para nelayan sulit mencari
ikan. Penghasilan ayah Alvin yang setiap harinya mulai
menurunlah yang membuat Alvin terpaksa melepaskan seragam sekolahnya dan
bekerja membantu ayahnya.
“hidup
ini keras, Nak! Realitas tak seperti dongeng yang selalu mempunyai jalan keluar
yang mudah, terkadang kita harus berusaha sangat keras untuk membuka jalan
keluar itu” kata suara yang tiba-tiba saja datang dan masuk ke gendang telinga
Alvin. Alvin yang sedang asyik memandangi laut biru di depan rumahnya itu jelas
terhenyak. Ia menoleh ke belakang. Sosok itu tersenyum.
“tapi
ayah, bukankah setiap usaha yang keras seharusnya membuahkan hasil yang manis?
Namun, sampai detik ini juga kehidupan kita masih seperti ini” ia memprotes
argument ayahnya.
“tentu,
Alvin! Tapi kau juga harus mengubah usaha keras itu”
“maksud
ayah?” alis Alvin mengerut, menatap
ayahnya. Ia tak mengerti.
“usaha
keras memang sangat diperlukan, tapi pola fikir kita pun harus diubah. Ah,
seandainya ayah tak menghabiskan hasil penjualan ikan waktu itu dan ayah rajin
menabung, tentu kau tak akan putus sekolah” ada nada sesal yang terdengar.
Laki-laki yang umurnya tak lagi muda itu tertunduk lesu.
Alvin
tak segera merespon apa yang dikatakan ayahnya. Ia sendiri tau kebiasaan
masyarakat pesisir yang konsumtif. Penghasilan yang tak tentu menjadi karam
penghadang. Ketika penghasilan mereka meningkat maka sifat konsumtif mereka
juga ikut meningkat. Sama seperti ayahnya.
“ayah,
sudahlah jangan merisaukanku! Pendidikan itu tak hanya di dapat di sekolah
saja, kau tak perlu menyalahkan dirimu sendiri, aku tak apa. lagi pula aku
senang bisa membantumu mengarungi lautan”
“maafkan
Ayah!” suara itu nyaris tak terdengar, lebih tepatnya seperti bisikan. Alvin
menatap mata ayahnya lekat-lekat. Banyak kerutan yang terlihat, kantong matanya
besar. Ia tahu ayahnya sangat berkerja keras selama ini. Ia mencoba meyakinkan
ayahnya.
“kau
tak salah ayah, jangan meminta maaf seperti itu! Semua ini adalah bagian dari
skenario-Nya”
“ya, kau benar anakku! Tak ada guna kita
mengungkit masa lalu, ini sudah jadi takdir yang Maha Kuasa. Kita hanya perlu
belajar dari kesalahan ini, dan kembali merangkai masa depan” laki-laki itu
memeluk anaknya. Mata laki-laki itu bersinar-sinar, mungkin ia bangga dengan
pemikiran anaknya yang dewasa itu. Alvin memang anak yang cerdas di sekolahnya
dulu. Ia tahu, seharusnya Alvin tak perlu putus
sekolah. Seharusnya ia bisa lebih mengontrol dirinya. Tapi, apa mau dikata,
nasi telah menjadi bubur. Tak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi, ah
seandainya waktu dapat diulang kembali.
§§§
Tak seperti pagi-pagi kemarin, pagi ini berbeda dan
mungkin akan terus sama dengan pagi-pagi selanjutnya. Bahkan sebelum ayam
berkokok dan mentari terbangun Alvin kecil harus sudah bangun untuk
bersiap-siap mengarungi lautan untuk membantu ayahnya. Tapi semangat belajarnya
tak pernah surut sedikitpun, meski keadaannya berbeda, meski ia tak lagi berstatus
sebagai siswa. Pendidikan adalah prioritas utama dalam hidupnya. Alvin tetap
membawa buku pelajaran bersamanya mengarungi lautan lepas.
Satu hal yang ia percaya selama ia masih punya mimpi,
hidupnya akan terus berlanjut. Alvin sangat terinspirasi dari buku favoritnya
yang ia beli dengan uang jajan yang ditabungnya. Buku itu adalah sebuah novel
yang berjudul ‘Laskar Pelangi” karangan Andrea Hirata yang menjadikannya tetap
tegar dan mempunyai semangat untuk belajar yang tinggi.
Hari itu bersama angin laut yang menghembuskan layar
perahunya, dan mentari pagi yang mulai bangun dari peraduannya menajadi awal
dari sebuah perjalanan keras yang baru ia mulai. Meski sebelumnya ia tau bahwa
hidup yang dijalaninya bukanlah hidup yang diimpikan setiap orang, tapi setidaknya
ia masih bisa mensyukurinya.
Bagaimanapun hidup itu adalah sebuah pengorbanan, yang
mana akan ada selalu yang harus dikorbankan sebelum menjemput yang namanya
kebahagiaan. Tak akan ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan, tak ada
yang perlu disalahkan atas apa yang terjadi. Ini bukan kesalahan siapapun, ini
bukan tentang arti dari keadilan dalam hidup. Hanya saja, bumi sedang
memberikan pelajaran terbaik kepada orang-orang pilihan, yang mempunyai
mimpi-mimpi besar dan bumi ingin mengujinya.
§§§
Dimensi waktu terus berputar, dan hidup terus berjalan.
Belum genap sebulan, rupanya Alvin tak bisa menahan keadaan yang membuatnya
harus meninggalkan sekolah. Ia rindu dengan seragam putih-merahnya, ia rindu
bersekolah. Sebernarnya buku-buku pelajaran itu sudah selesai ia baca dan
pahami, berulang kali hingga buku itu sudah nampak robek di bagian sampulnya,
ditambah ada beberapa halaman yang basah terkena air saat ia baca di perahu.
Tapi, rasanya tak cukup untuk sekedar membaca saja. Ia perlu teman yang bisa
diajaknya berdiskusi, setidaknya ia bisa menanyakan hal-hal yang tak
dipahaminya. Ia ingin tahu kandungan yang ada dalam air hujan yang dapat
menyuburkan tanaman, ia ingin tahu siapa pencipta lambang burung garuda yang
selama ini selalu terpajang di dinding kelas, dan hal-hal lain yang kadang
menganggu fikirannya.
Pernah suatu waktu Alvin bertanya pada ayahnya, berharap
ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu fikirannya
itu.
“ayah, siapa pencipta lambang burung garuda itu?” katanya
suatu ketika
“haha kau bergurau, mengapa kau tanyakan pertanyaan
seperti itu?” lelaki yang disebutnya ayah itu hanya tertawa geli mendengar
pertanyaan Alvi yang menurutnya konyol itu.
“tidak ayah, aku serius! Jika bendera merah putih saja
kita tahu yang menjahitnya adalah ibu fatmawati, lalu pencipta lagu Indonesia
Raya adalah W.R Supratman, lantas mengapa lambang burung garuda yang sering ku
lihat di kelas dulu tak ada yang mengagasnya?” cerocos Alvin berargumentasi
pada ayahnya. Menuntut penjelasan yang logis atas pertanyaannya yang ia fikir
itu adalah pertanyaan yang sangat masuk akal.
Tak ada jawaban yang ia dapat. Hanya senyuman ayahnya dan
tatapan terpana atas apa yang dikatakan Alvin. Lelaki itu kemudian mengelus
rambut anaknya lalu bergegas pergi. Alvin ketika itu hanya tetap berdiri
memandang ayahnya yang berlalu begitu saja.
Pagi ini, ia tak kembali mengarungi lautan. Cuaca yang
tak mendukung membuatnya tetap tinggal dikamar, sambil memandangi hujan yang
turun di jendela rumahnya. Fikirannya tengah berpetualang di dunianya, mencari
sebuah cara agar ia tetap bisa belajar seperti dulu lagi. Hingga tiba-tiba saja
ide liarnya muncul begitu saja. Ia akan tetap pergi ke sekolah, menjadi penjual
makanan. Setelah itu ketika jam pelajaran dimulai, ia akan pergi ke belakang kelas
dan menyimak pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh guru dikelas, dan ini
adalah satu-satunya cara agar ia tetap bisa mendapatkan pendidikan untuk
bekalnya di masa yang akan datang. Baginya pendidikan adalah investasi panjang
yang akan kelak akan mengangkat derajat keluarganya.
Saat itu juga, Alvin segera bergegas mencari ayahnya,
mencoba mengutarakan makasudnya.
“ayah, aku ingin meminta sedikit uang” katanya.
“untuk apa, Alvin?”
“untuk modal usahaku berjualan, ayah. Biarkan aku
berjualan saja, lagi pula musim hujan seperti ini, kita kesulitan untuk pergi
berlayar ke laut, jadi aku memutuskan untuk berjualan saja. Kalaupun ayah tak
memberiku uang pun tak masalah, aku masih punya tabungan yang bisa kupakai”
lelaki yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban itu terdiam. Memandang anak
sematan wayangnya dalam-dalam. Ia berkaca-kaca.
“maafkan ayah, nak. Ayah gagal menjadi seorang ayah yang
baik untukmu. Tak seharusnya kamu melakukan ini”
“jangan memperburuk keadaan ayah. Ini bukan kesalahan
siapapun. Sudahlah ayah, berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Akupun tak pernah
merasa terbebani dengan hal ini” lelaki itu diam.
“ayah, bukankah nelayan yang handal itu tak terlahir dari
lautan yang tenang? Bukankah begitu ayah?” Alvin mulai mendesaknya.
“iya nak, iya tepat sekali. Baiklah tak apa-apa jika itu
memang keinginanmu” jawab lelaki itu sambil mengeluarkan beberapa lembaran uang
receh yang lusuh dari dompetnya.
“ambil lah ini, semoga uang ini bermanfaat”
“terimakasih ayah” merekapun saling berpelukan. Mencoba
mengeluarkan semua beban yang ada.
§§§
Satu purnama berlalu. Alvin masih sealu datang ke sekolah
untuk berjualan, dan kemudian mengintip di balik jendela untuk sekedar mencatat
apa-apa yang ada di papan tulis, atau sekedar menempelkan kupingnya,
mendengarkan penjelasan dari materi-materi pelajaran yang disampaikan. Meski
terkadang ia harus bersusah payah agar bisa mendengar dengan jelas.
Hingga pada suatu ketika, Bu Ratih yang merupaka guru
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) memberikan pertanyaan kepada
murid-muridnya tentang proses bagaimana terjadinya hujan, dan ketika itu Alvin
refleks berteriak dari jendela sambil mengacungkan tangan. Semua mata tertuju
pada jendela tempat dimana suara teriakan itu berasal.
“Saya bu, saya bisa menjelaskan mengapa hujan bisa
terjadi” pekik Alvin dengan tubuh yang gemetaran. Ia tak yakin apa yang
dilakukannya itu benar. Ia hanya mengikuti kata hatinya. Entahlah ia tak peduli
jika seandainya setelah kejadian ini ia tak diizinkan untuk berjualan lagi. Tak
ada tanggapan apapun, semua mata mamsih
memandang ke arahnya, yang terdengar hanya bisikan-bisikan dari
mulut-mulut mereka.
“Proses terjadinya hujan terdiri dari proses penguapan
yang berasal dari air laut atau abiotik, proses ini diesbut dengn evaporasi, kemudian
penguapan yang berasal dari tumbuhan atau abiotik yang dinamakan dengan proses
transpirasi, setelah itu pengembunan atau terbentuknya titik-titik air yang
disebut dengan proses kondensasi, selanjutnya proses turunnya titik-titik air
ke bumi yang dinamakan dengan proses pretisipasi, dan terakhir dalah proses infiltrasi
yaitu meresapnya air hujan kedalam tanah” papar Alvin dengan lantang, meski
sebenarnya ia tampak gugup dan gemetaran. Setelah selesai melakukan penjelasan
itu, Alvin segera bergegas pergi.
Ah entah apa yang ada dihatinya saat itu. Terasa sangat
absurd terlihat, yang jelas tak akan mungkin dapat dijabarkan oleh kata-kata.
Hanya Alvin yang merasakan.
“Alvin tunggu!” pekik seorang perempuan, yang membuat
Alvin menghentikan langkah seribunya. Alvin menoleh kearah suara itu.
“Bu Retno? A... aku bisa menjelaskannya bu” ujar Alvin
terbata. Air mukanya tiba-tiba saja memucat.
“tak ada yang perlu dijelaskan, mari ikut ibu ke kantor”
titah Bu Retno pada Alvin. Alvin tak lagi bisa mengelak, akhirnya dengan
gejolak yang masih membara di hatinya, ia pergi bersama Bu Retno menuju kantor.
Alvin menghela nafas sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Semua pasti akan
baik-baik saja.
§§§
Jika kau bertanya
bagaimana Alvin kecil sekarang? Ia baik-baik saja. Alvin kecil telah
bermetafosis menjadi kupu-kupu yang indah, yang siap terbang kemanapun,
menggapai mimpi-mimpinya yang lain.
Setelah kejadian 15 tahun
yang lalu, kejadian yang Alvin fikir adalah akhir dari segalanya. Tapi,
ternyata hari itu meruapakan suatu jalan menuju kebahagiaannya yang nyaris
paripurna. Hari itu, Bu Retno yang ternyata seorang pengusaha muda dan
kebetulan menjadi guru mata pelajaran IPA di sekolah dasar itu berempati pada
kegigihan Alvin yang ingin terus belajar, meskipun keadaan tak memihaknya.
Entah ini adalah salah satu do’a Alvin yang dikabulkan oleh Tuhan, dan sesuatu
hal yang tak pernah terbayang oleh Alvin sebelumnya. Ya, Bu Retno memberikan bantuan kepada Alvin tanpa syarat
apapun. Karna ia percaya, bahwa Alvin adalah salah satu dari anak bangsa yang
bisa membawa perubahan bagi negri ini.
“Setiap orang pasti pernah
terjatuh, tapi orang sukses itu akan tetap bangkit dan kembali melangkah. Sepahit apapun masa
lalumu, kau masih punya masa depan yang bahagia” tutur seorang Mentri
Pendidikan dalam seminar ‘Menuju Indonesia yang Gemilang’ dan Mentri Pendidikan
itu adalah seorang pemuda yang berasal dari daerah pesisir. Seorang pemuda yang
pernah mengarungi lautan lepas, yang pernah berjualan disekolah, yang pernah menguping di luar kelas. Mentri Pendidikan itu
adalah hasil mertamofosis dari Alvin kecil yang punya tekad kuat dalam
memperjuangkan mimpi-mimpinya.
Gemuruh tepuk tangan
menggemparkan aula seminar. Semua penonton bersorak ria mengapresiasi setiap
gagasan dan motivasi dari Alvin. Di tahun 2025 ini, semua pendidikan sepenuhnya
merata. Tak ada lagi anak-anak yang putus sekolah. Alvin tak mau, pengalaman
pahitnya terulang kembali pada generasi-generasi penerusnya. Biarkan mereka
merajut semua mimpi-mimpi mereka dengan suka cita. Jangan ada lagi anak-anak
yang harus putus sekolah, karna itu berarti akan menimbulkan keputus asaan,
yang akhirnya menjadi petaka untuk bangsa.
“Ayah bangga padamu, nak”
ujar seorang lelaki paruh baya menghampiri anak tunggalnya. Alvin hanya
tersenyum. Lalu mereka saling berpelukan. Langit biru kali ini menjadi saksi
kebahagiaan mereka. Tak pernah ada usaha yang menghianati hasil. ()
Tidak ada komentar:
Posting Komentar