Jumat, 16 Desember 2016

Mimpi Anak Pesisir

sumber : http://beritadaerah.co.id/wp-content/uploads/2013/11/Sunset-Pantai-Piaman-smtra.jpg

              
Debur ombak di laut sana selalu menjadi alunan musik yang bermelodi syahdu bagi para penduduk di pesisir pantai, terutama bagi Alvin. Ia juga sangat menyukai suatu momen ketika mentari terbit lalu tenggelam, karena pada saat itu langit terlihat indah dengan ornament orange yang mem-blur menyatu dengan langit yang biru. Ia menikmati masa anak-anaknya dengan penuh keceriaan, meski semester ini ia terpaksa keluar dari bangku sekolah untuk bekerja membantu ayahnya mencari ikan di laut lepas.
Alvin sempat kehilangan semangat dalam hidupnya, keceriaan yang selalu tergambar dari wajahnya yang polos itu harus tergantikan dengan kesedihan, ia begitu khawatir akan masa depannya, tapi ia juga tak tega melihat sang ayah membanting tulang sendirian di laut lepas untuk keluarganya. Belum lagi banyaknya pengeksploitasian terumbu karang di laut ini membuat para nelayan sulit mencari ikan. Penghasilan ayah Alvin yang setiap harinya mulai menurunlah yang membuat Alvin terpaksa melepaskan seragam sekolahnya dan bekerja membantu ayahnya.
“hidup ini keras, Nak! Realitas tak seperti dongeng yang selalu mempunyai jalan keluar yang mudah, terkadang kita harus berusaha sangat keras untuk membuka jalan keluar itu” kata suara yang tiba-tiba saja datang dan masuk ke gendang telinga Alvin. Alvin yang sedang asyik memandangi laut biru di depan rumahnya itu jelas terhenyak. Ia menoleh ke belakang. Sosok itu tersenyum.
“tapi ayah, bukankah setiap usaha yang keras seharusnya membuahkan hasil yang manis? Namun, sampai detik ini juga kehidupan kita masih seperti ini” ia memprotes argument ayahnya.
“tentu, Alvin! Tapi kau juga harus mengubah usaha keras itu”
“maksud ayah?” alis Alvin mengerut,  menatap ayahnya. Ia tak mengerti.
“usaha keras memang sangat diperlukan, tapi pola fikir kita pun harus diubah. Ah, seandainya ayah tak menghabiskan hasil penjualan ikan waktu itu dan ayah rajin menabung, tentu kau tak akan putus sekolah” ada nada sesal yang terdengar. Laki-laki yang umurnya tak lagi muda itu tertunduk lesu.
Alvin tak segera merespon apa yang dikatakan ayahnya. Ia sendiri tau kebiasaan masyarakat pesisir yang konsumtif. Penghasilan yang tak tentu menjadi karam penghadang. Ketika penghasilan mereka meningkat maka sifat konsumtif mereka juga ikut meningkat. Sama seperti ayahnya.
“ayah, sudahlah jangan merisaukanku! Pendidikan itu tak hanya di dapat di sekolah saja, kau tak perlu menyalahkan dirimu sendiri, aku tak apa. lagi pula aku senang bisa membantumu mengarungi lautan”
“maafkan Ayah!” suara itu nyaris tak terdengar, lebih tepatnya seperti bisikan. Alvin menatap mata ayahnya lekat-lekat. Banyak kerutan yang terlihat, kantong matanya besar. Ia tahu ayahnya sangat berkerja keras selama ini. Ia mencoba meyakinkan ayahnya.
“kau tak salah ayah, jangan meminta maaf seperti itu! Semua ini adalah bagian dari skenario-Nya”
 “ya, kau benar anakku! Tak ada guna kita mengungkit masa lalu, ini sudah jadi takdir yang Maha Kuasa. Kita hanya perlu belajar dari kesalahan ini, dan kembali merangkai masa depan” laki-laki itu memeluk anaknya. Mata laki-laki itu bersinar-sinar, mungkin ia bangga dengan pemikiran anaknya yang dewasa itu. Alvin memang anak yang cerdas di sekolahnya dulu. Ia tahu, seharusnya Alvin tak perlu putus sekolah. Seharusnya ia bisa lebih mengontrol dirinya. Tapi, apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Tak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi, ah seandainya waktu dapat diulang kembali.
§§§
Tak seperti pagi-pagi kemarin, pagi ini berbeda dan mungkin akan terus sama dengan pagi-pagi selanjutnya. Bahkan sebelum ayam berkokok dan mentari terbangun Alvin kecil harus sudah bangun untuk bersiap-siap mengarungi lautan untuk membantu ayahnya. Tapi semangat belajarnya tak pernah surut sedikitpun, meski keadaannya berbeda, meski ia tak lagi berstatus sebagai siswa. Pendidikan adalah prioritas utama dalam hidupnya. Alvin tetap membawa buku pelajaran bersamanya mengarungi lautan lepas.
Satu hal yang ia percaya selama ia masih punya mimpi, hidupnya akan terus berlanjut. Alvin sangat terinspirasi dari buku favoritnya yang ia beli dengan uang jajan yang ditabungnya. Buku itu adalah sebuah novel yang berjudul ‘Laskar Pelangi” karangan Andrea Hirata yang menjadikannya tetap tegar dan mempunyai semangat untuk belajar yang tinggi.
Hari itu bersama angin laut yang menghembuskan layar perahunya, dan mentari pagi yang mulai bangun dari peraduannya menajadi awal dari sebuah perjalanan keras yang baru ia mulai. Meski sebelumnya ia tau bahwa hidup yang dijalaninya bukanlah hidup yang diimpikan setiap orang, tapi setidaknya ia masih bisa mensyukurinya.
Bagaimanapun hidup itu adalah sebuah pengorbanan, yang mana akan ada selalu yang harus dikorbankan sebelum menjemput yang namanya kebahagiaan. Tak akan ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan, tak ada yang perlu disalahkan atas apa yang terjadi. Ini bukan kesalahan siapapun, ini bukan tentang arti dari keadilan dalam hidup. Hanya saja, bumi sedang memberikan pelajaran terbaik kepada orang-orang pilihan, yang mempunyai mimpi-mimpi besar dan bumi ingin mengujinya.
§§§
Dimensi waktu terus berputar, dan hidup terus berjalan. Belum genap sebulan, rupanya Alvin tak bisa menahan keadaan yang membuatnya harus meninggalkan sekolah. Ia rindu dengan seragam putih-merahnya, ia rindu bersekolah. Sebernarnya buku-buku pelajaran itu sudah selesai ia baca dan pahami, berulang kali hingga buku itu sudah nampak robek di bagian sampulnya, ditambah ada beberapa halaman yang basah terkena air saat ia baca di perahu. Tapi, rasanya tak cukup untuk sekedar membaca saja. Ia perlu teman yang bisa diajaknya berdiskusi, setidaknya ia bisa menanyakan hal-hal yang tak dipahaminya. Ia ingin tahu kandungan yang ada dalam air hujan yang dapat menyuburkan tanaman, ia ingin tahu siapa pencipta lambang burung garuda yang selama ini selalu terpajang di dinding kelas, dan hal-hal lain yang kadang menganggu fikirannya.
Pernah suatu waktu Alvin bertanya pada ayahnya, berharap ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu fikirannya itu.
“ayah, siapa pencipta lambang burung garuda itu?” katanya suatu ketika
“haha kau bergurau, mengapa kau tanyakan pertanyaan seperti itu?” lelaki yang disebutnya ayah itu hanya tertawa geli mendengar pertanyaan Alvi yang menurutnya konyol itu.
“tidak ayah, aku serius! Jika bendera merah putih saja kita tahu yang menjahitnya adalah ibu fatmawati, lalu pencipta lagu Indonesia Raya adalah W.R Supratman, lantas mengapa lambang burung garuda yang sering ku lihat di kelas dulu tak ada yang mengagasnya?” cerocos Alvin berargumentasi pada ayahnya. Menuntut penjelasan yang logis atas pertanyaannya yang ia fikir itu adalah pertanyaan yang sangat masuk akal.
Tak ada jawaban yang ia dapat. Hanya senyuman ayahnya dan tatapan terpana atas apa yang dikatakan Alvin. Lelaki itu kemudian mengelus rambut anaknya lalu bergegas pergi. Alvin ketika itu hanya tetap berdiri memandang ayahnya yang berlalu begitu saja.
Pagi ini, ia tak kembali mengarungi lautan. Cuaca yang tak mendukung membuatnya tetap tinggal dikamar, sambil memandangi hujan yang turun di jendela rumahnya. Fikirannya tengah berpetualang di dunianya, mencari sebuah cara agar ia tetap bisa belajar seperti dulu lagi. Hingga tiba-tiba saja ide liarnya muncul begitu saja. Ia akan tetap pergi ke sekolah, menjadi penjual makanan. Setelah itu ketika jam pelajaran dimulai, ia akan pergi ke belakang kelas dan menyimak pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh guru dikelas, dan ini adalah satu-satunya cara agar ia tetap bisa mendapatkan pendidikan untuk bekalnya di masa yang akan datang. Baginya pendidikan adalah investasi panjang yang akan kelak akan mengangkat derajat keluarganya.
Saat itu juga, Alvin segera bergegas mencari ayahnya, mencoba mengutarakan makasudnya.
“ayah, aku ingin meminta sedikit uang” katanya.
“untuk apa, Alvin?”
“untuk modal usahaku berjualan, ayah. Biarkan aku berjualan saja, lagi pula musim hujan seperti ini, kita kesulitan untuk pergi berlayar ke laut, jadi aku memutuskan untuk berjualan saja. Kalaupun ayah tak memberiku uang pun tak masalah, aku masih punya tabungan yang bisa kupakai” lelaki yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban itu terdiam. Memandang anak sematan wayangnya dalam-dalam. Ia berkaca-kaca.
“maafkan ayah, nak. Ayah gagal menjadi seorang ayah yang baik untukmu. Tak seharusnya kamu melakukan ini”
“jangan memperburuk keadaan ayah. Ini bukan kesalahan siapapun. Sudahlah ayah, berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Akupun tak pernah merasa terbebani dengan hal ini” lelaki itu diam.
“ayah, bukankah nelayan yang handal itu tak terlahir dari lautan yang tenang? Bukankah begitu ayah?” Alvin mulai mendesaknya.
“iya nak, iya tepat sekali. Baiklah tak apa-apa jika itu memang keinginanmu” jawab lelaki itu sambil mengeluarkan beberapa lembaran uang receh yang lusuh dari dompetnya.
“ambil lah ini, semoga uang ini bermanfaat”
“terimakasih ayah” merekapun saling berpelukan. Mencoba mengeluarkan semua beban yang ada.
§§§
Satu purnama berlalu. Alvin masih sealu datang ke sekolah untuk berjualan, dan kemudian mengintip di balik jendela untuk sekedar mencatat apa-apa yang ada di papan tulis, atau sekedar menempelkan kupingnya, mendengarkan penjelasan dari materi-materi pelajaran yang disampaikan. Meski terkadang ia harus bersusah payah agar bisa mendengar dengan jelas.
Hingga pada suatu ketika, Bu Ratih yang merupaka guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) memberikan pertanyaan kepada murid-muridnya tentang proses bagaimana terjadinya hujan, dan ketika itu Alvin refleks berteriak dari jendela sambil mengacungkan tangan. Semua mata tertuju pada jendela tempat dimana suara teriakan itu berasal.
“Saya bu, saya bisa menjelaskan mengapa hujan bisa terjadi” pekik Alvin dengan tubuh yang gemetaran. Ia tak yakin apa yang dilakukannya itu benar. Ia hanya mengikuti kata hatinya. Entahlah ia tak peduli jika seandainya setelah kejadian ini ia tak diizinkan untuk berjualan lagi. Tak ada tanggapan apapun, semua mata mamsih  memandang ke arahnya, yang terdengar hanya bisikan-bisikan dari mulut-mulut mereka.
“Proses terjadinya hujan terdiri dari proses penguapan yang berasal dari air laut atau abiotik, proses ini diesbut dengn evaporasi, kemudian penguapan yang berasal dari tumbuhan atau abiotik yang dinamakan dengan proses transpirasi, setelah itu pengembunan atau terbentuknya titik-titik air yang disebut dengan proses kondensasi, selanjutnya proses turunnya titik-titik air ke bumi yang dinamakan dengan proses pretisipasi, dan terakhir dalah proses infiltrasi yaitu meresapnya air hujan kedalam tanah” papar Alvin dengan lantang, meski sebenarnya ia tampak gugup dan gemetaran. Setelah selesai melakukan penjelasan itu, Alvin segera bergegas pergi.
Ah entah apa yang ada dihatinya saat itu. Terasa sangat absurd terlihat, yang jelas tak akan mungkin dapat dijabarkan oleh kata-kata. Hanya Alvin yang merasakan.
“Alvin tunggu!” pekik seorang perempuan, yang membuat Alvin menghentikan langkah seribunya. Alvin menoleh kearah suara itu.
“Bu Retno? A... aku bisa menjelaskannya bu” ujar Alvin terbata. Air mukanya tiba-tiba saja memucat.
“tak ada yang perlu dijelaskan, mari ikut ibu ke kantor” titah Bu Retno pada Alvin. Alvin tak lagi bisa mengelak, akhirnya dengan gejolak yang masih membara di hatinya, ia pergi bersama Bu Retno menuju kantor. Alvin menghela nafas sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Semua pasti akan baik-baik saja.
§§§
            Jika kau bertanya bagaimana Alvin kecil sekarang? Ia baik-baik saja. Alvin kecil telah bermetafosis menjadi kupu-kupu yang indah, yang siap terbang kemanapun, menggapai mimpi-mimpinya yang lain.
            Setelah kejadian 15 tahun yang lalu, kejadian yang Alvin fikir adalah akhir dari segalanya. Tapi, ternyata hari itu meruapakan suatu jalan menuju kebahagiaannya yang nyaris paripurna. Hari itu, Bu Retno yang ternyata seorang pengusaha muda dan kebetulan menjadi guru mata pelajaran IPA di sekolah dasar itu berempati pada kegigihan Alvin yang ingin terus belajar, meskipun keadaan tak memihaknya. Entah ini adalah salah satu do’a Alvin yang dikabulkan oleh Tuhan, dan sesuatu hal yang tak pernah terbayang oleh Alvin sebelumnya. Ya, Bu Retno  memberikan bantuan kepada Alvin tanpa syarat apapun. Karna ia percaya, bahwa Alvin adalah salah satu dari anak bangsa yang bisa membawa perubahan bagi negri ini.
            “Setiap orang pasti pernah terjatuh, tapi orang sukses itu akan tetap bangkit  dan kembali melangkah. Sepahit apapun masa lalumu, kau masih punya masa depan yang bahagia” tutur seorang Mentri Pendidikan dalam seminar ‘Menuju Indonesia yang Gemilang’ dan Mentri Pendidikan itu adalah seorang pemuda yang berasal dari daerah pesisir. Seorang pemuda yang pernah mengarungi lautan lepas, yang pernah berjualan disekolah, yang pernah  menguping di luar kelas. Mentri Pendidikan itu adalah hasil mertamofosis dari Alvin kecil yang punya tekad kuat dalam memperjuangkan mimpi-mimpinya.
            Gemuruh tepuk tangan menggemparkan aula seminar. Semua penonton bersorak ria mengapresiasi setiap gagasan dan motivasi dari Alvin. Di tahun 2025 ini, semua pendidikan sepenuhnya merata. Tak ada lagi anak-anak yang putus sekolah. Alvin tak mau, pengalaman pahitnya terulang kembali pada generasi-generasi penerusnya. Biarkan mereka merajut semua mimpi-mimpi mereka dengan suka cita. Jangan ada lagi anak-anak yang harus putus sekolah, karna itu berarti akan menimbulkan keputus asaan, yang akhirnya menjadi petaka untuk bangsa.
            “Ayah bangga padamu, nak” ujar seorang lelaki paruh baya menghampiri anak tunggalnya. Alvin hanya tersenyum. Lalu mereka saling berpelukan. Langit biru kali ini menjadi saksi kebahagiaan mereka. Tak pernah ada usaha yang menghianati hasil. ()

Tidak ada komentar:

Posting Komentar