Jumat, 16 Desember 2016

The way I were






sumber : tumblr
“Jangan dekati dia, sepertinya dia seorang teroris, lihat saja pakainnya!” bisikan segerombolan wanita itu terdengar nyaring ditelingaku, ditambah dengan tatapan sinis mereka yang menuju tepat kearahku. Aku tau tatapan itu, tatapan seekor elang yang siap memburu mangsanya. Jika seandainya aku bukanlah seorang muslimah yang tau akan etika, tentu tak akan ku biarkan mereka pergi begitu saja. Ingin rasanya aku sumpal mulut mereka dengan daging busuk. Apakah mereka tak pernah belajar soal etika? Lalu apa gunanya jilbab yang mereka pakai sedangkan omongan mereka tak dijaga? Astagfirullah! Mengapa sekarang aku yang malah mengumpat perihal mereka? Sudahlah, kalau aku terus mempersalahkan persoalan ini, aku tak ada bedanya dengan mereka. Seharusnya aku sudah tak perlu menghiraukan persoalan ini, dan hal ini sudah menjadi resiko yang harus ku tanggung. Jalan menuju keridhoan-Nya tak akan mudah untuk dilalui.
Biarlah orang lain menilaiku apa, aku tak akan peduli. Selama jiwa masih di kandung badan, selama nafas ini masih terus berhembus, aku akan tetap pada jalanku.
§§§
            Senja telah kembali ke peraduan, cahaya mentari telah digantikan oleh kirana rembulan. Malam itu aku tengah berkemas, menyiapkan segala keperluanku untuk keberangkatan esok hari. Ya, aku akan memulai perjalan hidupku yang sesungguhnya. Padahal, aku masih belum bisa move on dari masa putih abu-abuku yang katanya itu adalah masa-masa terindah ketika bersekolah.
            “Tia, kemari nak” kata umi memanggil tiba-tiba.
            “iya mi, sebentar” kataku. Aku segera mengakhiri pekerjaanku, lalu pergi menuju ruang keluarga. Disana, abi dan umi telah menungguku. Tak biasanya mereka seperti ini.
            “sudah selesai mengemasi barang-barangnya, Tia?” tanya umi seketika.
            “sedikit lagi, mi” jawabku, lalu aku duduk disamping abi. Aku mencoba menerka-nerka apa yang akan abi dan umi sampaikan padaku. Abi kemudian menepuk pundakku, menatap lekat kedua mataku.
            “esok kau akan pergi untuk menjemput cita-citamu, bekal materi saja tak cukup untuk membuatmu bertahan disana”
            “maksud abi?” tanyaku memotong pembicaraan abi.
            “jangan dipotong dulu, nak. Dengarkan dulu apa yang akan dikatakan abimu” aku mengangguk faham.
            “kuatkan aqidahmu, dan jaga selalu shalatmu ya. Bandung bukanlah kota kecil, Tia. Berbagai macam kalangan dari sabang hingga merauke ada disana, entah untuk mengadu nasib, berwisata atau menuntut ilmu sepertimu. Ketahuilah, tidak semua dari mereka itu satu jalan dengan kita. Abi titip agar kau pandai cari kawan, bergaul lah dengan orang-orang yang satu faham dengan kita. Kau mengerti?”
            “iya abi, Tia mengerti”
            “kalau begitu, sekarang istirahatlah! Besok kau akan menempuh perjalanan yang tak sebentar”
            “baik umi” aku pun mencium tangan abi dan umi bergantian, lalu bergegas melanjutkan agenda berkemasku yang belum selesai, setelah semuanya rapi aku beranjak menuju tempat tidurku, memulai merajut mimpi.
§§§
           
            Pesawat dari Banda Aceh menuju Bandung telah mendarat sejak tadi, aku masih menikmati macetnya Kota Bandung. Hari ini hujan, sehingga hawa dingin ini menjadi pelengkap dalam keadaan macet ini. Ah, aku sudah tak sabar melihat sekolah baruku yang katanya bagus itu. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang mahasiswi! Rasanya langkahku menuju cita-citaku akan terasa mudah. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang desainer terkenal seperti Dian Pelangi dan yang lainnya.
            Setelah 2 jam lebih menerobos kemacetan, akhirnya aku sampai di tempat baruku menuntut ilmu. Areanya begitu luas dengan gedung-gedung tinggi.  Meski belum lama berdiri, kampus ini sudah sangat terkenal. Setelah sampai diparkiran, abi menurunkan barang-barangku. Umi dan abi menunggu di tempat yang sudah disediakan oleh panitia penerimaan mahasiwa baru. Aku membawa barang-barangku dengan dibantu oleh dua orang kuli, menuju asrama yang letaknya lumayan jauh dari parkiran. Untuk tahun pertama ini semua mahasiswa dan mahasiswi baru diwajibkan untuk berasrama. Hal itu bertujuan untuk mempererat rasa persaudaraan diantara kami, sekaligus mengenal seluk-beluk area kampus ini.
            Aku membutuhkan waktu sekitar 15 menit menuju asramaku, setelah sampai aku segera melakukan registrasi asrama dan kemudian menuju kamarku yang berada di lantai 2. Setiap kamar memiliki kapasitas untuk empat orang, dengan satu kamar mandi didalamnya. Kamarku masih sepi, karena teman-teman sekamarku baru akan datang besok. Jadwal registrasi asrama ini ditentukan sesuai dengan jurusan.
            Selepas membereskan semua barang-barangku dan menatanya dengan rapi, aku kembali menuju tempat dimana abi dan umi menungguku.
            “bagaimana asramanya, Tia?” tanya abi sambil mengusap kepalaku.
            “alhamdulillah abi, asramanya nyaman untuk ditempati, insyaallah Tia akan merasa kerasan tinggal disini” jawabku.
            “baguslah kalau begitu, abi berharap Tia menuruti nasihat yang abi sampaikan tadi malam” aku hanya mengangguk tanda mengerti.
            “oh iya, jangan lupa makan dan jangan banyak bergandang untuk hal-hal yang takpenting. Jangan memporsir tubuhmu, jika lelah, istirahatlahah!” ujuar umi menambahkan
            “tentu umi, abi. Tia akan menjaga kepercayaan kalian dan insyaallah Tia akan belajar sungguh-sungguh disini”
            “iya umi percaya sama kamu, nak. Tapi umi dan abi ngga bisa lama-lama disini, umi dan abi harus segera pulang karna ada pekerjaan yang harus kami selesaikan”
            “tak apa umi, Tia kan udah dewasa” akupun mencium kedua tangan mereka, abi dan umi bergantian mengecup keningku. Meski sebenarnya aku belum terbiasa berada jauh dari mereka, tapi aku tak punya pilihan lain. Harus ada yang dikorbankan untuk menjemput bahagia. Mungkin awalnya akan terasa sulit, namun seiring dengan berjalannya waktu aku akan terbiasa.
§§§
Satu purnama berlalu, tentunya aku sudah resmi jadi mahasiswi disini. Namun, kenyataan yang ada tak seperti mimpi yang selalu ku dambakan selama ini. lingkungan baru, dan kawan baru menjadi dua hal yang sedikit menghambat proses adaptasiku, ada hal yang tak membuatku nyaman disini. Apa yang abi katakan waktu itu ternyata memang benar. Aku mulai tergoda untuk mengganti pakaian syar’i ku dengan pakaian yang orang-orang bilang modis.
Aku sadar, hidup di lingkungan orang-orang seni dan desain yang terkesan bebas tanpa aturan menjadikanku semakin mawas diri. Memang tak semua dari mereka seperti itu, karna aku pun masih bisa bergaul dengan orang-orang yang ta’at akan syariat di tengah lingkungan seperti ini.
Aku hanyalah seorang manusia biasa, mempunyai nafsu, dan rentan tergoda oleh bisikan setan. Aku memang terlahir dari keluarga dan lingkungan yang ta’at dalam beragama, tapi itu bukanlah jaminan yang besar untuk tidak terjerumus pada jurang-jurang kenistaan. Ternyata tak mudah hidup di Kota ini. Sesekali terlintas dalam benakku untuk berpakaian seperti mereka, mungkin itu akan membuatku terlihat cantik dan lebih disukai oleh kaum adam. Di samping itu umi dan abi tak akan tahu akan hal itu, karna jarak dari aceh ke bandung itu bukanlah jarak yang dekat.
Tidak! Kali ini aku benar-benar berperang dengan hati, rasanya aku tak punya gairah lagi untuk belajar di sini. Tugas-tugas ku terkadang terbengkalai, karena suasana hatiku semakin kacau. Aku bahkan lupa tujuan awalku pergi ke tempat ini. Lalu, sebenarnya apa yang tengah ku cari? Apa yang tengah ku risaukan ini? bukan kah seharusnya aku menikmati proses yang ada?
Entahlah, tiba-tiba saja malam itu aku terbangun, aku lirik jam dinding di kamarku, jarum pendek menunjuk pada angka 2 dan jarum panjangnya menunjuk pada angka 6, itu artinya sekarang adalah tepat pukul 02.30 dini hari. Dengan rasa kantuk yang masih meyelimuti, aku beranjak dari kasurku menuju kamar mandi untuk berwudhu, setelah itu aku menggelar sajjadah ku untuk sholat malam.
Ada ketenangan dalam jiwa yang ku rasakan di setiap gerakan sholatnya. Semua bebanku terasa ringan. Pikiranku menjadi tenang. Dan entah mengapa setelah selesai ku panjatkan do’a, aku berfikir untuk membentengi diriku sesegera mungkin. Aku harus segera berhijrah dan keluar dari zana nyaman ini. mungkin keputusanku ini akan sulit diterima di lingkunganku, tapi aku tau mana jalan yang terbaik untuk hidupku kedepannya.
Maka hari itu aku memantapkan niatku untuk berhijrah ke arah yang lebih baik, meskipun mungkin akhlakku masih jauh dari kesempurnaan, tapi setidaknya aku memberanikan diri untuk berhijrah secara lahiriyah. Aku memutuskan untuk bercadar. Meski sebenarnya islam tak mewajibkan perempuan untuk bercadar. Tapi aku percaya, dengan aku bercadar seperti ini aku bisa lebih membentengi diriku dari godaan-godaan di sekitarku ketika berpakaian syar’i saja tak cukup untuk membentenginya. Aku tahu pakaian bukanlah segalanya, tapi setidaknya pakaian yang ku kenakan ini bisa menjadikan motivasi dan alarm pengingat agar aku tak melakukan sesuatu yang dilarang oleh syari’at.
Aku memandang pantulan bayanganku di cermin, aku bisa melihat wajah baruku, mungkin terkesan asing. Tak apalah, kecantikan rupa tak akan bertahan lama, karena nanti aku akan menjadi tua dan keriput.
§§§
Proses hijrahku menimbulkan berbagai tanda tanya di antara teman-temanku. Tak jarang dari mereka yang mencibir atau bahkan mengolok. Aku sudah terbiasa dengan hal itu, aku tak peduli meski mereka menganggapku sebagai teroris atau sejenisnya. Memang, kadang hijrah membuat lelah, mebuat hati kembali goyah dan di perlukan iman yang kuat untuk terus melangkah. Tapi, aku yakin jalan hijrahku adalah salah satu jalan untuk menuju surga-Nya.
§§§
“kak, apakah kakak tidak merasa risih dengan pakaian seperti itu? Padahalkan sebagai seorang desainer kakak bisa tampil lebih modis?” tanya seorang gadis perempuan yang menarik seluruh perhatian peserta seminar “Hijrah on Progress”. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu, lalu kemudian aku mulai memarkan penjelasan kepadanya.
“untuk apa merasa risih? Ketika dengan berpakaian seperti ini saya bisa lebih di hormati, dibandingkan saya berpenampilan modis tapi ‘direndahkan’ . mungkin pada awalnya orang-orang banyak yang mencibir bahkan menganggap saya sebagai seorang teroris, tapi itu saya jadikan motivasi untuk tetap istiqomah untuk berpakaian seperti ini, saya seorang perempuan normal seperti kalian semua, hoby selfie dan ingin selalu tetap tampil modis. Tapi artian modis disini tidak untuk pamer bentuk tubuh. Saya ingin membuktikan kepada setiap orang, bahwa wanita bercadarpun tetap terlihat modis. Maka, saya merancang pakaian-pakaian yang tetap sesuai syar’i namun tetap mengikuti mode yang ada dan nyaman di pakai” aku menghela nafas sejenak. Para peserta seminar masih fokus mendengarkan seminar yang saya sampaikan.
“islam itu indah kalau kita jalani sesuai dengan tuntunan qu’an dan sunnah, alhamdulillah setelah saya memakai cadar orang-orang lebih menghormati cadar dibandingkan dengan sebelum saya bercadar, saya selalu diberi jalan jika melintas di keramaian, saya sering diberin tempat duduk jika saya berpergian menggunakan angkutan umum. Jadi, jangan pernah ragu lagi untuk berhijrah” ujarku mengakhiri pembicaraan ini. riuh tepuk tangan dari para peserta seminar menggema di aula ini.
Kini saya telah mewujudkan impian saya seabagai seorang desainer muda yang terkenal, tanpa harus melepaskan jati diri saya sebagai seorang muslimah. Proses kesabaran yang terasa pahit diawal kini telah berbuah manis dan siap untuk dipetik. Seandainya saya tidak memutuskan hijrah saat itu, saya tidak akan pernah tau apakah takdir saya akan sebaik seperti sekarang ini.
 §§§
            “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah SWT, kecuali Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik bagimu” – HR.Ahmad no 23074.
-Selesai-

Berpulang



Keraguan dalam dada mulai menyeruak,
Separuh jiwa mulai terporak-poranda
Ada yang kurang dalam diri, atau aku memang sakit jiwa?

Pertanyaan-pertanyaan gila itu,
Menghilangkan segenap warasku
Apa yang ku percaya terasa ambigu
Pedomanku tak lagi menjadi solusi
Lantas apa yang ku cari?

“Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah, irjji’i ila rabbik raadiyyatan mardiyyah,
Fadkhuliy fi ‘ibadi, Wadkhuli jannati”
Lafadz-lafadz asing itu
Bukanlah nyanyian yang sering ku dengar,
Ada ketenangan yang kurasa,
Ada getaran yang menerobos nuraniku,
Dan kini aku mulai mepertanyakan


Tentang lantunan-lantunan yang seolah menyihirku
Tak ada yang berani menjawab, kecuali
Seorang gadis bercadar yang ku temui di jalan

Sekarang, aku memahami,
Ragu ku tak lagi mengusik
Sederet pertanyaan gila itu terjawab tuntas
Yang ku percaya tak lagi ambigu, dan
Pedoman baruku adalah jawabannya
Lantas apa yang ku cari?

Tak ada, karena apa yang ku cari telah kudapatkan
Aku telah berpulang lagi berikrar,
Mengabdikan diri pada Sang Pencipta, secara paripurna.

Andaikan



“aku akan pulang” katamu
Kau terus bergumam dan mengulang-ngulangnya
Ada rona bahagia yang tersirat
pada pancaran matamu yang khas
Dan aku hanya terdiam, mendengarkan

Pagi itu, tawamu masih terngiang
Terdengar renyah di telingaku.
Kau bilang, “aku akan pulang”
Dan kau terus mengulangnya lagi dan lagi,
Sampai akhirnya aku tersadar
Ternyata kau benar-benar ‘berpulang’

Kawan,   andaikan aku tau


Andaikan aku dapat mengulang waktu
Tentu aku akan mewarnai hari terakhirmu
Namun sesalku,
tak akan mampu membuatmu kembali

(Bandung, 2 Oktober 2016)