![]() |
sumber : tumblr |
“Jangan dekati dia, sepertinya dia seorang teroris, lihat saja
pakainnya!” bisikan segerombolan wanita itu terdengar nyaring ditelingaku,
ditambah dengan tatapan sinis mereka yang menuju tepat kearahku. Aku tau
tatapan itu, tatapan seekor elang yang siap memburu mangsanya. Jika seandainya
aku bukanlah seorang muslimah yang tau akan etika, tentu tak akan ku biarkan
mereka pergi begitu saja. Ingin rasanya aku sumpal mulut mereka dengan daging
busuk. Apakah mereka tak pernah belajar soal etika? Lalu apa gunanya jilbab
yang mereka pakai sedangkan omongan mereka tak dijaga? Astagfirullah! Mengapa
sekarang aku yang malah mengumpat perihal mereka? Sudahlah, kalau aku terus
mempersalahkan persoalan ini, aku tak ada bedanya dengan mereka. Seharusnya aku
sudah tak perlu menghiraukan persoalan ini, dan hal ini sudah menjadi resiko
yang harus ku tanggung. Jalan menuju keridhoan-Nya tak akan mudah untuk
dilalui.
Biarlah
orang lain menilaiku apa, aku tak akan peduli. Selama jiwa masih di kandung
badan, selama nafas ini masih terus berhembus, aku akan tetap pada jalanku.
§§§
Senja telah kembali ke peraduan,
cahaya mentari telah digantikan oleh kirana rembulan. Malam itu aku tengah
berkemas, menyiapkan segala keperluanku untuk keberangkatan esok hari. Ya, aku
akan memulai perjalan hidupku yang sesungguhnya. Padahal, aku masih belum bisa move
on dari masa putih abu-abuku yang katanya itu adalah masa-masa terindah
ketika bersekolah.
“Tia, kemari nak” kata umi memanggil
tiba-tiba.
“iya mi, sebentar” kataku. Aku
segera mengakhiri pekerjaanku, lalu pergi menuju ruang keluarga. Disana, abi
dan umi telah menungguku. Tak biasanya mereka seperti ini.
“sudah selesai mengemasi
barang-barangnya, Tia?” tanya umi seketika.
“sedikit lagi, mi” jawabku, lalu aku
duduk disamping abi. Aku mencoba menerka-nerka apa yang akan abi dan umi
sampaikan padaku. Abi kemudian menepuk pundakku, menatap lekat kedua mataku.
“esok kau akan pergi untuk menjemput
cita-citamu, bekal materi saja tak cukup untuk membuatmu bertahan disana”
“maksud abi?” tanyaku memotong
pembicaraan abi.
“jangan dipotong dulu, nak.
Dengarkan dulu apa yang akan dikatakan abimu” aku mengangguk faham.
“kuatkan aqidahmu, dan jaga selalu
shalatmu ya. Bandung bukanlah kota kecil, Tia. Berbagai macam kalangan dari
sabang hingga merauke ada disana, entah untuk mengadu nasib, berwisata atau
menuntut ilmu sepertimu. Ketahuilah, tidak semua dari mereka itu satu jalan
dengan kita. Abi titip agar kau pandai cari kawan, bergaul lah dengan
orang-orang yang satu faham dengan kita. Kau mengerti?”
“iya abi, Tia mengerti”
“kalau begitu, sekarang
istirahatlah! Besok kau akan menempuh perjalanan yang tak sebentar”
“baik umi” aku pun mencium tangan
abi dan umi bergantian, lalu bergegas melanjutkan agenda berkemasku yang belum
selesai, setelah semuanya rapi aku beranjak menuju tempat tidurku, memulai
merajut mimpi.
§§§
Pesawat dari Banda Aceh menuju
Bandung telah mendarat sejak tadi, aku masih menikmati macetnya Kota Bandung.
Hari ini hujan, sehingga hawa dingin ini menjadi pelengkap dalam keadaan macet
ini. Ah, aku sudah tak sabar melihat sekolah baruku yang katanya bagus itu.
Sebentar lagi aku akan menjadi seorang mahasiswi! Rasanya langkahku menuju
cita-citaku akan terasa mudah. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang desainer
terkenal seperti Dian Pelangi dan yang lainnya.
Setelah 2 jam lebih menerobos
kemacetan, akhirnya aku sampai di tempat baruku menuntut ilmu. Areanya begitu
luas dengan gedung-gedung tinggi. Meski
belum lama berdiri, kampus ini sudah sangat terkenal. Setelah sampai
diparkiran, abi menurunkan barang-barangku. Umi dan abi menunggu di tempat yang
sudah disediakan oleh panitia penerimaan mahasiwa baru. Aku membawa barang-barangku
dengan dibantu oleh dua orang kuli, menuju asrama yang letaknya lumayan jauh
dari parkiran. Untuk tahun pertama ini semua mahasiswa dan mahasiswi baru
diwajibkan untuk berasrama. Hal itu bertujuan untuk mempererat rasa
persaudaraan diantara kami, sekaligus mengenal seluk-beluk area kampus ini.
Aku membutuhkan waktu sekitar 15
menit menuju asramaku, setelah sampai aku segera melakukan registrasi asrama
dan kemudian menuju kamarku yang berada di lantai 2. Setiap kamar memiliki
kapasitas untuk empat orang, dengan satu kamar mandi didalamnya. Kamarku masih
sepi, karena teman-teman sekamarku baru akan datang besok. Jadwal registrasi
asrama ini ditentukan sesuai dengan jurusan.
Selepas membereskan semua
barang-barangku dan menatanya dengan rapi, aku kembali menuju tempat dimana abi
dan umi menungguku.
“bagaimana asramanya, Tia?” tanya
abi sambil mengusap kepalaku.
“alhamdulillah abi, asramanya nyaman
untuk ditempati, insyaallah Tia akan merasa kerasan tinggal disini” jawabku.
“baguslah kalau begitu, abi berharap
Tia menuruti nasihat yang abi sampaikan tadi malam” aku hanya mengangguk tanda
mengerti.
“oh iya, jangan lupa makan dan
jangan banyak bergandang untuk hal-hal yang takpenting. Jangan memporsir
tubuhmu, jika lelah, istirahatlahah!” ujuar umi menambahkan
“tentu umi, abi. Tia akan menjaga
kepercayaan kalian dan insyaallah Tia akan belajar sungguh-sungguh disini”
“iya umi percaya sama kamu, nak.
Tapi umi dan abi ngga bisa lama-lama disini, umi dan abi harus segera pulang
karna ada pekerjaan yang harus kami selesaikan”
“tak apa umi, Tia kan udah dewasa”
akupun mencium kedua tangan mereka, abi dan umi bergantian mengecup keningku.
Meski sebenarnya aku belum terbiasa berada jauh dari mereka, tapi aku tak punya
pilihan lain. Harus ada yang dikorbankan untuk menjemput bahagia. Mungkin
awalnya akan terasa sulit, namun seiring dengan berjalannya waktu aku akan
terbiasa.
§§§
Satu
purnama berlalu, tentunya aku sudah resmi jadi mahasiswi disini. Namun,
kenyataan yang ada tak seperti mimpi yang selalu ku dambakan selama ini.
lingkungan baru, dan kawan baru menjadi dua hal yang sedikit menghambat proses
adaptasiku, ada hal yang tak membuatku nyaman disini. Apa yang abi katakan
waktu itu ternyata memang benar. Aku mulai tergoda untuk mengganti pakaian syar’i
ku dengan pakaian yang orang-orang bilang modis.
Aku
sadar, hidup di lingkungan orang-orang seni dan desain yang terkesan bebas
tanpa aturan menjadikanku semakin mawas diri. Memang tak semua dari mereka
seperti itu, karna aku pun masih bisa bergaul dengan orang-orang yang ta’at
akan syariat di tengah lingkungan seperti ini.
Aku
hanyalah seorang manusia biasa, mempunyai nafsu, dan rentan tergoda oleh
bisikan setan. Aku memang terlahir dari keluarga dan lingkungan yang ta’at
dalam beragama, tapi itu bukanlah jaminan yang besar untuk tidak terjerumus
pada jurang-jurang kenistaan. Ternyata tak mudah hidup di Kota ini. Sesekali
terlintas dalam benakku untuk berpakaian seperti mereka, mungkin itu akan
membuatku terlihat cantik dan lebih disukai oleh kaum adam. Di samping itu umi
dan abi tak akan tahu akan hal itu, karna jarak dari aceh ke bandung itu
bukanlah jarak yang dekat.
Tidak!
Kali ini aku benar-benar berperang dengan hati, rasanya aku tak punya gairah
lagi untuk belajar di sini. Tugas-tugas ku terkadang terbengkalai, karena
suasana hatiku semakin kacau. Aku bahkan lupa tujuan awalku pergi ke tempat
ini. Lalu, sebenarnya apa yang tengah ku cari? Apa yang tengah ku risaukan ini?
bukan kah seharusnya aku menikmati proses yang ada?
Entahlah,
tiba-tiba saja malam itu aku terbangun, aku lirik jam dinding di kamarku, jarum
pendek menunjuk pada angka 2 dan jarum panjangnya menunjuk pada angka 6, itu
artinya sekarang adalah tepat pukul 02.30 dini hari. Dengan rasa kantuk yang
masih meyelimuti, aku beranjak dari kasurku menuju kamar mandi untuk berwudhu,
setelah itu aku menggelar sajjadah ku untuk sholat malam.
Ada
ketenangan dalam jiwa yang ku rasakan di setiap gerakan sholatnya. Semua
bebanku terasa ringan. Pikiranku menjadi tenang. Dan entah mengapa setelah selesai
ku panjatkan do’a, aku berfikir untuk membentengi diriku sesegera mungkin. Aku
harus segera berhijrah dan keluar dari zana nyaman ini. mungkin keputusanku ini
akan sulit diterima di lingkunganku, tapi aku tau mana jalan yang terbaik untuk
hidupku kedepannya.
Maka
hari itu aku memantapkan niatku untuk berhijrah ke arah yang lebih baik,
meskipun mungkin akhlakku masih jauh dari kesempurnaan, tapi setidaknya aku
memberanikan diri untuk berhijrah secara lahiriyah. Aku memutuskan untuk
bercadar. Meski sebenarnya islam tak mewajibkan perempuan untuk bercadar. Tapi
aku percaya, dengan aku bercadar seperti ini aku bisa lebih membentengi diriku
dari godaan-godaan di sekitarku ketika berpakaian syar’i saja tak cukup untuk
membentenginya. Aku tahu pakaian bukanlah segalanya, tapi setidaknya pakaian
yang ku kenakan ini bisa menjadikan motivasi dan alarm pengingat agar aku tak
melakukan sesuatu yang dilarang oleh syari’at.
Aku
memandang pantulan bayanganku di cermin, aku bisa melihat wajah baruku, mungkin
terkesan asing. Tak apalah, kecantikan rupa tak akan bertahan lama, karena
nanti aku akan menjadi tua dan keriput.
§§§
Proses
hijrahku menimbulkan berbagai tanda tanya di antara teman-temanku. Tak jarang
dari mereka yang mencibir atau bahkan mengolok. Aku sudah terbiasa dengan hal
itu, aku tak peduli meski mereka menganggapku sebagai teroris atau sejenisnya.
Memang, kadang hijrah membuat lelah, mebuat hati kembali goyah dan di perlukan
iman yang kuat untuk terus melangkah. Tapi, aku yakin jalan hijrahku adalah
salah satu jalan untuk menuju surga-Nya.
§§§
“kak,
apakah kakak tidak merasa risih dengan pakaian seperti itu? Padahalkan sebagai
seorang desainer kakak bisa tampil lebih modis?” tanya seorang gadis perempuan
yang menarik seluruh perhatian peserta seminar “Hijrah on Progress”. Aku hanya
tersenyum mendengar pertanyaan itu, lalu kemudian aku mulai memarkan penjelasan
kepadanya.
“untuk
apa merasa risih? Ketika dengan berpakaian seperti ini saya bisa lebih di
hormati, dibandingkan saya berpenampilan modis tapi ‘direndahkan’ . mungkin
pada awalnya orang-orang banyak yang mencibir bahkan menganggap saya sebagai
seorang teroris, tapi itu saya jadikan motivasi untuk tetap istiqomah untuk
berpakaian seperti ini, saya seorang perempuan normal seperti kalian semua,
hoby selfie dan ingin selalu tetap tampil modis. Tapi artian modis disini tidak
untuk pamer bentuk tubuh. Saya ingin membuktikan kepada setiap orang, bahwa
wanita bercadarpun tetap terlihat modis. Maka, saya merancang pakaian-pakaian
yang tetap sesuai syar’i namun tetap mengikuti mode yang ada dan nyaman di
pakai” aku menghela nafas sejenak. Para peserta seminar masih fokus
mendengarkan seminar yang saya sampaikan.
“islam
itu indah kalau kita jalani sesuai dengan tuntunan qu’an dan sunnah,
alhamdulillah setelah saya memakai cadar orang-orang lebih menghormati cadar
dibandingkan dengan sebelum saya bercadar, saya selalu diberi jalan jika
melintas di keramaian, saya sering diberin tempat duduk jika saya berpergian
menggunakan angkutan umum. Jadi, jangan pernah ragu lagi untuk berhijrah”
ujarku mengakhiri pembicaraan ini. riuh tepuk tangan dari para peserta seminar
menggema di aula ini.
Kini
saya telah mewujudkan impian saya seabagai seorang desainer muda yang terkenal,
tanpa harus melepaskan jati diri saya sebagai seorang muslimah. Proses
kesabaran yang terasa pahit diawal kini telah berbuah manis dan siap untuk
dipetik. Seandainya saya tidak memutuskan hijrah saat itu, saya tidak akan
pernah tau apakah takdir saya akan sebaik seperti sekarang ini.
§§§
“Sesungguhnya
tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah SWT, kecuali Allah akan menggantikannya
dengan yang lebih baik bagimu” – HR.Ahmad no 23074.
-Selesai-