Rabu, 14 September 2016

Mengenali Sosok Pemimpin Ideal, melalui lensa Ideologi Negara;Pancasila







Setiap orang yang terlahir ke dunia ini
adalah seorang pemimpin baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang
disekitarnya, akan tetapi tidak semua orang mampu menjadi sosok pemimpin idaman
yang mempunyai karakteristik sebagai pemimpin ideal. Lalu, seperti apakah
pemimpin yang ideal itu? Seberapa pentingkah sosok pemimpin ideal itu? Dimana
kita bisa menemukannya? Apakah pemimpin kita telah mencapai ‘keidealan’
tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan diatas kerap kali
muncul dibenak setiap orang, dan berbagai macam jawaban pun didapatkan dari
pertanyaan-pertanyaan itu. Dewasa ini teori mengenai kepemimpin dan
karakteristik pemimpin itu sendiri telah berkembang dan banyak sekali. Tapi pada
intinya pemimpin merupakan seorang pribadi yang memiliki suatu kecakapan
khusus, dimana kecakapan itu bisa mempengaruhi orang-orang disekitarnya untuk
menjalankan visi dan misi yang sama. Adapun pengertian ideal sendiri yang saya
pahami dari sebuah artikel yang saya baca, yaitu sebuah implikasi bahwa apapun
yang ideal harus mengabdi kepada suatu ‘Ide’ yang mana ide tersebut kedepannya
akan menjadikan suatu perubahan yang (jauh) lebih baik untuk NKRI sendiri, atau
dengan kata lain ‘ide’ disini merupakan suatu inovasi yang menjadi standar
utama dalam menilai karakteristik seorang pemimpin sehingga dapat membawa kita
mencapai kondisi yang ideal.
            Pemimpin
yang ideal terangkum jelas dalam sebuah filosofi pendidikan yang dicetuskan oleh
Ki Hajar Dewantara, yaitu “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa,
Tut wuri handayani”
yang mempunyai makna “Di depan memberikan teladan,
Di tengah menggugah semangat, Di belakang memberikan dorongan”
dan saya
percaya bahwa jika para pemimpin memegang teguh filosofi ini akan membawa
Negara Indonesia kearah yang lebih baik kedepannya.
Dari filosofi ini kita dapat menarik
kesimpulan bahwasannya kriteria kepemimpinan yang baik itu dapat kita dapatkan
dari nilai-nilai yang terkandung dalam dasar Negara Indonesia, yakni Pancasila.
Lantas, bagaimanakah karakteristik pemimpin ideal menurut pandangan Pancasila
itu sendiri? Baiklah, mari kita bahas satu persatu.
Sila pertama berbunyi ‘Ketuhan yang Maha Esa’
yang mengisyaratkan bahwasannya seorang pemimpin disini merupakan sosok yang
religius, berpegang teguh pada agama. Hal itu dikarenakan seorang pemimpin yang
berkualitas adalah orang yang taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun religius
sendiri bukanlah terlihat dari simbol-simbol yang menunjukan bahwa dia seorang
yang alim, akan tetapi  religius ini diciptakan
dari suatu keikhlasan yang menjadikan kesungguhan dalam penghambaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Sila kedua berbunyi ‘Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab’ itu artinya seorang pemimpin ideal haruslah seseorang yang mempunyai
budi pekerti luhur seperti jujur, dapat dipercaya, memiliki rasa malu,
sederhana dan lain sebagainya. Sila ini juga menuntut akan rasa kemanusiaan
yang tinggi, dimana hal itu dapat terlihat dari bagaimana seorang pemimpin
menjalankan amanah yang dipegangnya, mengedepankan segala kepentingan umum
dibandingkan dengan kepentingan pribadinya dan selalu berusaha keras untuk
memberikan yang terbaik bagi rakyatnya di dasari dengan menjunjung tinggi sikap
ikhlas dan rela berkorban.
Sila ketiga menitik beratkan pada persatuan
Indonesia, yang mana para pemimpin bangsa haruslah mempunyai sikap tegas, dan
mempunyai integritas dalam memimpin bangsa Indonesia ini, jangan sampai terjadi
pertikaian, ataupun permasalahan-permasalahan yang dapat memacu timbulnya
perpecahan di NKRI ini. Dengan demikian, seorang pemimpin yang diharapkan
bangsa adalah dia yang mempunyai kepekaan terhadap permasalahan-permasalahan
yang terjadi pada rakyatnya dan segera membantu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan tersebut. Karena hal ini akan membuat mereka merasa
aman dan nyaman berada di lingkungan Republik Indonesia ini.
Sila keempat mencerminkan bahwasannya seorang
pemimpin itu haruslah mempunyai jiwa yang cerdas dan bijaksana. Kedua aspek
tersebut jelas sangat dibutuhkan guna mewujudkan Indonesia yang demokratis dan
cita-cita bangsa Indonesia dapat terealisasikan secara paripurna. Sikap
demokratis juga akan lahir dari sebuah politik yang bersih.
Sila kelima yang merupakan sila terakhir ini
merupakan konsep besar dalam suatu kepemimpinan, yang mana keadilan dalam
artian disini bukan hanya sekedar sama rata sama rasa saja, akan tetapi
keadilan disini merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan seorang pemimpin
dalam menyeimbangkan suatu hak dan kewajiban, harus proporsional, dan merubah
jalan hukum yang selama ini kita kenal bahwasannya hukum di Indonesia ini
‘tajam ke bawah dan tumpul ke atas’.
Maka kenali calon pemimpinmu! Sudahkah dia
bersikap sesuai norma-norma yang terdapat dalam Pancasila? Karena kemajuan
bangsa Indonesia ada di genggaman kita, ditentukan dari apa yang kita pilih.
Karena sesal tak akan terjadi di depan. Karena saya yakin harapan kita sama
dalam memilih, untuk Indonesia yang lebih baik.
 




http://siperubahan.com/read/2979/Mengenali-Sosok-Pemimpin-Ideal-melalui-lensa-Ideologi-NegaraPancasila

Rabu, 07 September 2016

Bulan Juli dan Janji




Selalu ada gundah di bulan Juli. Menyayat nurani berulang kali. Tak pernah usai dan terus berlanjut tanpa henti. Segala kemungkinan yang pernah ku impikan, hanya sekedar angan-angan yang tak pernah ku dapatkan. Waktu masih berevolusi, sampai dengan detik ini. Namun, aku tak juga berimigrasi ke lain hati. Bukan tak mau, hanya saja ikatan ini membelengguku.

Senyumanmu masih menjadi klise. Jarak yang tak dekat, menjadi pupuk penyubur kegundahanku. Ikatan yang kau simpulkan dalam sanubariku tak mudah ku lepaskan. Hingga ketidakwarasaanku mulai menggugat rindu-hal yang biasa ku nikmati-yang kini hampir memporak-porandakan jiwaku.

Lihat aku yang nyaris seperti tulang yang terbungkus kulit!
Lalu, ego siapa yang ku beri makan?

Hingga senja membiru. Hingga jarak tak menjadi soal. Hingga egomu mau berdamai. Aku masih tetap di tempat yang sama. Di tempat yang dimana pernah ada kita. Ditempat kau mengikatku dengan ikrar yang kau sabdakan atas nama cinta.

Bandung, 7 September 2016

Senja yang Tak Kembali


Kau tahu Ayah?
Aku selalu menunggumu di daun pintu,
Menanti-nanti kepulanganmu,
Berharap kau segera pulang seperti janji ibu.

Ayah, maafkan jika aku selalu membuatmu kesal
Aku tau kau lelah setelah jauh berkelana,
hingga kau tak pernah sempat mendengar ceritaku.
Aku mengerti tentang kejenuhanmu,
hingga kau enggan mengisahkan petualanganmu seperti dulu.

Tapi, bolehkah aku meminta satu jam mu,
untuk sekedar melihat senja di pantai sebrang yang tak pernah membiru?
Seperti waktu dulu,
Ketika kau mengenggam erat tanganku, lalu berkata :
“Tetaplah menjadi senja kesayangan Ayah dengan warnanya yang menawan”

Sayangnya,
Ayah tak pernah kembali.