Cermin itu pecah
menjadi kepingan kecil yang berserakan dilantai, darah berceceran di setiap
kepingan kaca itu, memberi sedikit motif menawan pada kaca bening itu. Kamar
itu hening setelah keributan setengah jam yang lalu dan di akhiri dengan
pecahnya cermin yang semula tergantung di atas dinding kamar.
Tidakkah kau dengar?
Ada isak tangis di sudut kamar ini, terdengar pilu, dan meringis kalbu. Menjadi
lagu pemecah sunyi. Seorang anak lelaki dengan tangan yang dibaluti perbah
tengah menangis kesakitan di atas lantai, ia tergeletak tak berdaya di sudut
kamar. Tak hanya fisiknya yang terluka, rupanya nuraninya terluka lebih dalam.
Disampingnya seorang
gadis lima tahun lebih tua dari anak lelaki itu menatapnya iba. Ia tahu ini
bukan perkara mudah yang bisa diterima
oleh adiknya. Namun ia bisa apa? Selama ini, ia tak pernah tinggal bersama
adiknya setelah perceraian antara mamah dan papah terjadi. Jadi, jangankan
untuk menghibur lara dan mengobati luka hatinya, untuk bertegur sapapun rasanya
canggung sekali. Ia seakan orang asing yang tiba-tiba saja hadir di tengah
paradoks rumit ini. Kacau sudah.
“Nabil!” sahut gadis
itu pelan. Anak lelaki itu tak menoleh sedikitpun. Gadis yang bernama Nabila
itu mulai mendekat perlahan.
“Jangan dekati aku! Kau
sama jahatnya dengan papah, dan sekarang kau puaskan melihat mamah tiada? Hah?”
Nabila menghentikan langkahnya. Ia mematung. Matanya mulai berembun.
“Kau salah Nabil!
Kecelakaan ini murni takdir Sang MAha Kuasa, dan sungguh aku tak pernah berniat
jahat apapun padamu” ujarnya terbata. Embun itu meluru, jatuh dari kelopak
matanya, membasahi pipinya yang selalu merona merah.
“Pergi kau! Aku tak
ingin melihatmu disini” Nabila tak dapat berkehendak apapun lagi. Ia faham,
adiknya perlu waktu untuk menerima keadaan ini.
Nabila pergi. Suasana
kamar itu kembali senyap. Rangkaian peristiwa kecelakaan itu kembali berputar
begitu saja di depan retina mata anak lelaki tadi. Tak hanya itu yang
membuatnya terpuruk menuju sumur duka, Nabil harus merelakan satu kakinya untuk
diamputasi.
Ah mengapa Tuhan tak
sekalian mencabut nyawanya saja? Bukankah itu lebih baik untuknya? Ia tak perlu
lagi meneguk pahitnya hidup dan ia bisa bersama mamah sekarang. Apa Tuhan marah
padanya? Tapi, atas dasar apa Tuhan marah? Nabil tak pernah absen menjalankan
perintah-Nya. Ia selalu ta’at akan nasihat yang diberikan mamah. Dan tiba-tiba
saja Tuhan menghukumnya dengan realitas seperti ini. Dan sekarang, untuk apa
dia hidup jijka seorang diri? Nabil terus saja menghujani fikirannya dengan
ketidak siapannya menerima takdir Sang Maha Kuasa.
Tunggu! Bukankah Nabila
sengaja datang jauh-jauh dari Australia untuk merawatnya? Namun, kedatangan
kakak nya yang sengaja itu tak berpengaruh apa-apa bagi Nabil. Bahkan Nabil
tampak membenci sang kakak. Alasan kebenciannya itu satu, kemana sang kakak
selama ini saat mamah harus berjuang sendirian,
membanting tulang untuk membiayai keluarganya? Dan kini ia tiba-tiba
saja datang disaat yang tak pernah Nabil inginkan.
Hari itu, dimensi waktu
terasa begitu lambat, mungkin waktu berkuadrat dan mennjadi berkali-lipat. Ia
ingin segera mengakhiri dukanya.
“kau sudah makan?”
tanya Nabila pada adiknya yang baru saja bangun pagi itu. Tak biasanya Nabil
tidur lagi setelah sholat subuh, padahal biasanya ia selalu membantu mamah di
dapur. Namu keadaannya berbeda sekarang.
“Belum” jawab Nabil
dingin sembari melangkah menuju meja maka. Sepasang matanya masih sembab sampai
hari ini. Nabil terus saja menangis, luka hatinnya belum juga pulih.
“Biarku temani kau
makan ya?” Nabila terlihat bersikap semanis mungkin dihadapan adiknya.
“Tak usah, kau membuat
nafsu makanku berkurangku” Nabila diam sejenak. Tidak! Ia tak boleh menangis,
mungkin Nabil masih belum bisa menerima kehadiran dirinya. Ia harus kuat.
“Baiklah, aku pergi!
Semoga kau menikmati sarapanmu” Nabila berlalu, pergi dari hadapan adiknya.
Ah dengarlah, percakapan
itu terlalu kaku antara seorang adik dan kakak. Percakapan mereka seolah dua
orang yang tak pernah mengenal
sebelumnya.
Perkiraan Nabila juga
salah. Ia kira seiring dengan berjalannya masa, lambat laun Nabil akan berubah
dan menerima kehadiran dirinya di rumah ini, meskipun bukan sebagai kakak
baginya. Namun, realitasnya setumpuk perkiraan itu salah, dan jauh dari
harapan. Hubungan antara keduanya tak belangsung membaik. Padahal, kejadian itu
sudah hampir 5 bulan terlewat. Nabil masih membencinya.
Untungnya, Nabila tak
perlu memikirkan persoalan apapun lagi terkecuali masalah adiknya. Nabila telah
meraih gelar sarjananya di usia 15 tahun dengan predikat Cum Claude di Universitas
ternama di Australia. Nabila juga sudah mempunyai butik pakaianyang telah
berkembang pesat semenjak 2 tahun yang lalu. Jadi, ia tak perlu khawatir lagi
akan biaya hidup keluarganya di masa yang akan datang.
Kendati demikian,
keadaan adiknya yang setiap harinya memburuk merupakan beban tersendiri dan
membuat rasa khawatir itu semakin menjadi. Nabil semakin hari terlihat semakin
kurus. Ia bahkan berhenti sekolah dengan alasan kekanak-kanakannya yang malu
karena selalu diejek teman atas kakinya yang tak ada satu. Mamah pasti kecewa
jika mendengar hal ini. Mamah selalu meprioritaskan pendidikan dari apapun, ia
ingin anak-anaknya mendapatkan
pendidikan terbaik.
Tak hanya itu,
akhir-akhir ini Nabil seering mengurung diri
di kamar. Ah, mengapa jadi serumit ini?
Keluhnya. Namun, Nabila bukanlah tipe yang mudah menyerah. Ditengah
usaha keras yang dilakukannya, ia tak pernah berhenti berdo’a.
Berharap esok,
keajaiban datang dan merubah duka ini menjadi kebahagiaan yang abadi.
“Sudah pukul delapan,
tapi dimana Nabil?” gumam Nabila menungggu adiknya sarapan. Tak seperti biasanya
Nabil masih di kamar.
Nabila mulai resah, ia
pun menyusul adiknya ke kamar. Menakjubkan! Saat pintu kamar terbuka, sepasang
mata cokelat milik Nabila berbinar-binar melihat berbagai macam lukisan yang
terpajang di atas kanvas yang mengelilling seisi kamar. Ia tak peduli meski
kakinya menginjak cat yang tumpah di atas lantai. Nuraninya berdecak kagum.
Sebuah lukisan sederhana dan terlihat hidup diantara lukisan yang lain menari
perhatiannya. Itu lukisan mamah dan Nabil.
“Nabil merindukan
mamahnya” ujar Nabil berkomentar.
Hampir lupa! Nabila
segera mengghampiri adiknya yang terbaring. Ya Tuhan, tubuhnya panas sekali.
Nabil terus saja menyebut mamahnya, mungkin efek dari demamnya yang tinggi
hingga ia mengigau berulang kali. Nabilla segera menghubungi dokter, Nabil
harus cepat dibawa ke rumah sakit.
Kegelisahan itu
sempurna menyelimuti hati Nabila. Ia khawatir, sangat khawatir.
Sepasang mata itu
perlahan mulai terbuka, tubuhnya masih terbaring lemah di atas ranjang,
selang-selang itu juga masih terpasang ditubuhnya. Detak jantungnya mulai
stabil. Laki-laki dewasa dengan perawakan yjangkung dan jas putihnya
menghampiri anak lelaki yang baru saja tersadar dari komanya selama hampir
sepekan.
Ptih itu.
“Apa kabar Nabil? Sudah
membaik sepertinya, oh iya kakakmu menitipkan ini untukmu”
“Terima kasih, dokter”
jawab Nabi singkat. Ia mengambilb amplop putih yang diberikan oleh laki-laki
berjas putih itu.
Nabil tak langsung
membukanya. Ia hanya membolak-balik amplop dan disudut amplop itu tertera
namanya. Nabil mengerutkan dahinya.
‘Teruntuk adikku tercinta: Nabil Muhammad al-farisi’
Nabil menghela nafas. Ia
terpaksa harus membukanya untuk mengusir rasa penasarannya itu. Perlahan ia
membuka surat itu dan mulai membacanya secara seksama.
Hai Nabil!
Apa kabarmu? Aku pastikan
kau membaca surat ini dengan keadaanmu yang membaik. Maafkan aku tak bisa
menepati janjiku pada mamah untuk menjadi kakak yang baik untukmu.
Sejujurnya ini bukan
kemauanku untuk belajar dan meneetap di Australia. Kau tau kan? Setelah
perceraian itu, aku tak bisa membiarkan mamah bekerja sendirian untuk
menghidupi keluarga kita.
Maka,ku putuskan untuk
mencari beasiswa dan kerja disana. Dan ini aku lakukan untukmu dan mamah. Aku
tak ingin kau berhenti sekolah, sayang.
Bahkan, perihal kecelakaan
itu aku tak tau. Sungguh,aku memang berniat mengunjungi kalian ketika itu. Ah,
aku harap kau mau percaya dan mau memaafkanku. Tapi, bagaimanapun juga aku tak
bisa memaksamu untuk melakukan itu, terserah kau!
Oh iya, ketika kau tak
sadarkan diri di rumah sakit, aku membuat pameran untuk lukisanmu. Mungkin aku
memang lancang, aku hanya ingin bakat indahmu dilihat dunia. Dan kau tau
adikku, sayang? Uang hasil pameran itu aku belikan kaki palsu yang sekarang
tengah kau pakai.
Nabil, adikku…
Aku merindukanmu, jika kau
tak keberatan, bisakah kau menemuiku di balkon kamarku dan itu pun jika
keadaanmu sudah benar-benar membaik.
Salam sayang selalu,
Nabila Azzahra
Air mata milik anak
lelaki itu mengalir deras tak henti-hentinya. Dugaannya selama ini salah.
Nabila ternyata teramat mencintainya. Cinta tulus seorang kakak terhadap
adiknya.
Tanpa komando apapun
lagi, Nabil bergegas pergi. Meski ia tahu, tak mudah berjalan menggunakan kaki
robotnya. Semoga tak terlambat untuk memperbaiki kesalahannya.
Langit masih berwarna
biru terang, segerombolan burung terbang bebas disana, membuat langi itu tak
sekedar hamparan biru yang berhiaskan awan saja. Dimensi waktu akan terus
berjalan hingga masanya.
Teetesan embun di atas
daun masih terlihat malu untuk turun. Dan hembusan angin Nampak menggodanya
untuk segera turun kebawah. Jatuh membasahi tanah yang kering
“Kakak” Nabila menoleh,
senyumnya mengembang dan pipinya merona merah. Mata coklatnya kembali berbinar
penuh dengan kebahagian melihat adiknya sehat kembali.
“Kau jahat! Kenapa kau
tak pernah memberitahuku sebelumnya mengenai hal ini dan kau membuatku membenci
dirimu!” ada tekanan di setiap kata yang terlontar dari mulut Nabil. Raut
wajahnya sendu.
“Selama ini, aku
mencoba menjelaskannya kepadamu. Tapi, kau tak pernah mau mendengarkanku” sanggah Nabila.
Nabil tersenyum, lalu
memeluk erat tubuh Nabila.
“Maafkan aku kak, aku
tak pernah bermaksud menyakiti hatimu dan aku janji, kesalah pahaman ini tak
akan terjadi lagi”
“Sebelum kau mengatakan
itu, aku sudah memaafkanmu”
“Aku sangat menyangimu,
kak”
“Ya, aku juga” Nabila
melepaskan pelukan itu, keduanya saling bertukar senyum. Dan mereka kembali
larut dalam pelukan.
Ah lihatlah! Ternyata
masa mau berdamai dengan mereka. Kasih sayang seorang kakak mampu meluluhkan
nurani adiknya. Mentari di atas sana ikut berseri melihat kebahagiaan sederhana
itu. Dan hari esok siap menyambut mereka. Selamat tinggal duka, karena semuanya
kembali pada jalur yang seharusnya, hidup bahagia.
SELESAI