Selasa, 16 Juni 2015

Titik Kerinduan


Nostalgia itu bertengger lama
Di atas dahan dan ranting fikirku yang bercabang
Dan aku tak mungkin melupakannya begitu saja
Menghapus jejak-jejak memori yang tertinggal
Di akhir-akhir coretan hidupku

Tidakkah kau tahu?
Ada yang hilang dari dirimu
Atau mungkin ini hanya setumpuk perkiraanku yang salah
Yang terangkum dalam sebait puisi kuno
Tapi, sungguh!
Rasaku tak pernah salah dalam menduga
Dan prasangku ini berbaur abstrak,
Bersama kepingan rindu yang berceceran
Berharap masa mau mengubahmu kembali
Di akhir paragraf ceritaku.

Paradoks Kalbu

Aku mulai mengeja masa
Yang tak ingin berdamai denganku
Raut sendu tak pernah lepas mengiringi.

Jejak-jejak kematian ibu,
Selalu menjadi mimpi buruk dalam lelapku.

Jiwa yang kosong ini terpelanting jauh
Menuju tempat entah-berantah
Aku sepi dalam gelap
Dan tak akan ku temukan senyuman
Penentram hati, dalam ketakutan ini.

Ku fikir, dengan seiring berjalannya masa
Aku akan melupakan nostalgia kusam itu
Hidup bahagia tanpa ibu.
Tapi nyatanya, untuk berdiri saja aku tak mampu
Karena duka telah merajaiku

Bersama setumpuk sesalku atas kepergiannya.

Permohonan Maaf

http://yosbeda.com/wp-content/uploads/2009/12/maaf.jpg
             Cermin itu pecah menjadi kepingan kecil yang berserakan dilantai, darah berceceran di setiap kepingan kaca itu, memberi sedikit motif menawan pada kaca bening itu. Kamar itu hening setelah keributan setengah jam yang lalu dan di akhiri dengan pecahnya cermin yang semula tergantung di atas dinding kamar.
            Tidakkah kau dengar? Ada isak tangis di sudut kamar ini, terdengar pilu, dan meringis kalbu. Menjadi lagu pemecah sunyi. Seorang anak lelaki dengan tangan yang dibaluti perbah tengah menangis kesakitan di atas lantai, ia tergeletak tak berdaya di sudut kamar. Tak hanya fisiknya yang terluka, rupanya nuraninya terluka lebih dalam.
            Disampingnya seorang gadis lima tahun lebih tua dari anak lelaki itu menatapnya iba. Ia tahu ini bukan perkara  mudah yang bisa diterima oleh adiknya. Namun ia bisa apa? Selama ini, ia tak pernah tinggal bersama adiknya setelah perceraian antara mamah dan papah terjadi. Jadi, jangankan untuk menghibur lara dan mengobati luka hatinya, untuk bertegur sapapun rasanya canggung sekali. Ia seakan orang asing yang tiba-tiba saja hadir di tengah paradoks rumit ini. Kacau sudah.
            “Nabil!” sahut gadis itu pelan. Anak lelaki itu tak menoleh sedikitpun. Gadis yang bernama Nabila itu mulai mendekat perlahan.
            “Jangan dekati aku! Kau sama jahatnya dengan papah, dan sekarang kau puaskan melihat mamah tiada? Hah?” Nabila menghentikan langkahnya. Ia mematung. Matanya mulai berembun.
            “Kau salah Nabil! Kecelakaan ini murni takdir Sang MAha Kuasa, dan sungguh aku tak pernah berniat jahat apapun padamu” ujarnya terbata. Embun itu meluru, jatuh dari kelopak matanya, membasahi pipinya yang selalu merona merah.
            “Pergi kau! Aku tak ingin melihatmu disini” Nabila tak dapat berkehendak apapun lagi. Ia faham, adiknya perlu waktu untuk menerima keadaan ini.
            Nabila pergi. Suasana kamar itu kembali senyap. Rangkaian peristiwa kecelakaan itu kembali berputar begitu saja di depan retina mata anak lelaki tadi. Tak hanya itu yang membuatnya terpuruk menuju sumur duka, Nabil harus merelakan satu kakinya untuk diamputasi.
            Ah mengapa Tuhan tak sekalian mencabut nyawanya saja? Bukankah itu lebih baik untuknya? Ia tak perlu lagi meneguk pahitnya hidup dan ia bisa bersama mamah sekarang. Apa Tuhan marah padanya? Tapi, atas dasar apa Tuhan marah? Nabil tak pernah absen menjalankan perintah-Nya. Ia selalu ta’at akan nasihat yang diberikan mamah. Dan tiba-tiba saja Tuhan menghukumnya dengan realitas seperti ini. Dan sekarang, untuk apa dia hidup jijka seorang diri? Nabil terus saja menghujani fikirannya dengan ketidak siapannya menerima takdir Sang Maha Kuasa.
            Tunggu! Bukankah Nabila sengaja datang jauh-jauh dari Australia untuk merawatnya? Namun, kedatangan kakak nya yang sengaja itu tak berpengaruh apa-apa bagi Nabil. Bahkan Nabil tampak membenci sang kakak. Alasan kebenciannya itu satu, kemana sang kakak selama ini saat mamah harus berjuang sendirian,  membanting tulang untuk membiayai keluarganya? Dan kini ia tiba-tiba saja datang disaat yang tak pernah Nabil inginkan.
            Hari itu, dimensi waktu terasa begitu lambat, mungkin waktu berkuadrat dan mennjadi berkali-lipat. Ia ingin segera mengakhiri dukanya.
‰‰‰
            “kau sudah makan?” tanya Nabila pada adiknya yang baru saja bangun pagi itu. Tak biasanya Nabil tidur lagi setelah sholat subuh, padahal biasanya ia selalu membantu mamah di dapur. Namu keadaannya berbeda sekarang.
            “Belum” jawab Nabil dingin sembari melangkah menuju meja maka. Sepasang matanya masih sembab sampai hari ini. Nabil terus saja menangis, luka hatinnya belum juga pulih.
            “Biarku temani kau makan ya?” Nabila terlihat bersikap semanis mungkin dihadapan adiknya.
            “Tak usah, kau membuat nafsu makanku berkurangku” Nabila diam sejenak. Tidak! Ia tak boleh menangis, mungkin Nabil masih belum bisa menerima kehadiran dirinya. Ia harus kuat.
            “Baiklah, aku pergi! Semoga kau menikmati sarapanmu” Nabila berlalu, pergi dari hadapan adiknya.
            Ah dengarlah, percakapan itu terlalu kaku antara seorang adik dan kakak. Percakapan mereka seolah dua orang yang tak pernah  mengenal sebelumnya.
            Perkiraan Nabila juga salah. Ia kira seiring dengan berjalannya masa, lambat laun Nabil akan berubah dan menerima kehadiran dirinya di rumah ini, meskipun bukan sebagai kakak baginya. Namun, realitasnya setumpuk perkiraan itu salah, dan jauh dari harapan. Hubungan antara keduanya tak belangsung membaik. Padahal, kejadian itu sudah hampir 5 bulan terlewat. Nabil masih membencinya.
            Untungnya, Nabila tak perlu memikirkan persoalan apapun lagi terkecuali masalah adiknya. Nabila telah meraih gelar sarjananya di usia 15 tahun dengan predikat Cum Claude  di Universitas ternama di Australia. Nabila juga sudah mempunyai butik pakaianyang telah berkembang pesat semenjak 2 tahun yang lalu. Jadi, ia tak perlu khawatir lagi akan biaya hidup keluarganya di masa yang akan datang.
            Kendati demikian, keadaan adiknya yang setiap harinya memburuk merupakan beban tersendiri dan membuat rasa khawatir itu semakin menjadi. Nabil semakin hari terlihat semakin kurus. Ia bahkan berhenti sekolah dengan alasan kekanak-kanakannya yang malu karena selalu diejek teman atas kakinya yang tak ada satu. Mamah pasti kecewa jika mendengar hal ini. Mamah selalu meprioritaskan pendidikan dari apapun, ia ingin anak-anaknya  mendapatkan pendidikan terbaik.
            Tak hanya itu, akhir-akhir ini Nabil seering mengurung diri  di kamar. Ah, mengapa jadi serumit ini?  Keluhnya. Namun, Nabila bukanlah tipe yang mudah menyerah. Ditengah usaha keras yang dilakukannya, ia tak pernah berhenti berdo’a.
            Berharap esok, keajaiban datang dan merubah duka ini menjadi kebahagiaan yang abadi.
‰‰‰
            “Sudah pukul delapan, tapi dimana Nabil?” gumam Nabila menungggu adiknya sarapan. Tak seperti biasanya Nabil masih di kamar.
            Nabila mulai resah, ia pun menyusul adiknya ke kamar. Menakjubkan! Saat pintu kamar terbuka, sepasang mata cokelat milik Nabila berbinar-binar melihat berbagai macam lukisan yang terpajang di atas kanvas yang mengelilling seisi kamar. Ia tak peduli meski kakinya menginjak cat yang tumpah di atas lantai. Nuraninya berdecak kagum. Sebuah lukisan sederhana dan terlihat hidup diantara lukisan yang lain menari perhatiannya. Itu lukisan mamah dan Nabil.
            “Nabil merindukan mamahnya” ujar Nabil berkomentar.
            Hampir lupa! Nabila segera mengghampiri adiknya yang terbaring. Ya Tuhan, tubuhnya panas sekali. Nabil terus saja menyebut mamahnya, mungkin efek dari demamnya yang tinggi hingga ia mengigau berulang kali. Nabilla segera menghubungi dokter, Nabil harus cepat dibawa ke rumah sakit.
            Kegelisahan itu sempurna menyelimuti hati Nabila. Ia khawatir, sangat khawatir.
‰‰‰
            Sepasang mata itu perlahan mulai terbuka, tubuhnya masih terbaring lemah di atas ranjang, selang-selang itu juga masih terpasang ditubuhnya. Detak jantungnya mulai stabil. Laki-laki dewasa dengan perawakan yjangkung dan jas putihnya menghampiri anak lelaki yang baru saja tersadar dari komanya selama hampir sepekan.
Ptih itu.
            “Apa kabar Nabil? Sudah membaik sepertinya, oh iya kakakmu menitipkan ini untukmu”
            “Terima kasih, dokter” jawab Nabi singkat. Ia mengambilb amplop putih yang diberikan oleh laki-laki berjas putih itu.
            Nabil tak langsung membukanya. Ia hanya membolak-balik amplop dan disudut amplop itu tertera namanya. Nabil mengerutkan dahinya.
            ‘Teruntuk adikku tercinta: Nabil Muhammad al-farisi’
Nabil menghela nafas. Ia terpaksa harus membukanya untuk mengusir rasa penasarannya itu. Perlahan ia membuka surat itu dan mulai membacanya secara seksama.
Hai Nabil!
Apa kabarmu? Aku pastikan kau membaca surat ini dengan keadaanmu yang membaik. Maafkan aku tak bisa menepati janjiku pada mamah untuk menjadi kakak yang baik untukmu.
Sejujurnya ini bukan kemauanku untuk belajar dan meneetap di Australia. Kau tau kan? Setelah perceraian itu, aku tak bisa membiarkan mamah bekerja sendirian untuk menghidupi keluarga kita.
Maka,ku putuskan untuk mencari beasiswa dan kerja disana. Dan ini aku lakukan untukmu dan mamah. Aku tak ingin kau berhenti sekolah, sayang.
Bahkan, perihal kecelakaan itu aku tak tau. Sungguh,aku memang berniat mengunjungi kalian ketika itu. Ah, aku harap kau mau percaya dan mau memaafkanku. Tapi, bagaimanapun juga aku tak bisa memaksamu untuk melakukan itu, terserah kau!
Oh iya, ketika kau tak sadarkan diri di rumah sakit, aku membuat pameran untuk lukisanmu. Mungkin aku memang lancang, aku hanya ingin bakat indahmu dilihat dunia. Dan kau tau adikku, sayang? Uang hasil pameran itu aku belikan kaki palsu yang sekarang tengah kau pakai.
Nabil, adikku…
Aku merindukanmu, jika kau tak keberatan, bisakah kau menemuiku di balkon kamarku dan itu pun jika keadaanmu sudah benar-benar membaik.

Salam sayang selalu,

Nabila Azzahra
            Air mata milik anak lelaki itu mengalir deras tak henti-hentinya. Dugaannya selama ini salah. Nabila ternyata teramat mencintainya. Cinta tulus seorang kakak terhadap adiknya.
            Tanpa komando apapun lagi, Nabil bergegas pergi. Meski ia tahu, tak mudah berjalan menggunakan kaki robotnya. Semoga tak terlambat untuk memperbaiki kesalahannya.
‰‰‰
            Langit masih berwarna biru terang, segerombolan burung terbang bebas disana, membuat langi itu tak sekedar hamparan biru yang berhiaskan awan saja. Dimensi waktu akan terus berjalan hingga masanya.
            Teetesan embun di atas daun masih terlihat malu untuk turun. Dan hembusan angin Nampak menggodanya untuk segera turun kebawah. Jatuh membasahi tanah yang kering
            “Kakak” Nabila menoleh, senyumnya mengembang dan pipinya merona merah. Mata coklatnya kembali berbinar penuh dengan kebahagian melihat adiknya sehat kembali.
            “Kau jahat! Kenapa kau tak pernah memberitahuku sebelumnya mengenai hal ini dan kau membuatku membenci dirimu!” ada tekanan di setiap kata yang terlontar dari mulut Nabil. Raut wajahnya sendu.
            “Selama ini, aku mencoba menjelaskannya kepadamu. Tapi, kau tak pernah  mau mendengarkanku” sanggah Nabila.
            Nabil tersenyum, lalu memeluk erat tubuh Nabila.
          “Maafkan aku kak, aku tak pernah bermaksud menyakiti hatimu dan aku janji, kesalah pahaman ini tak akan terjadi lagi”
            “Sebelum kau mengatakan itu, aku sudah memaafkanmu”
            “Aku sangat menyangimu, kak”
            “Ya, aku juga” Nabila melepaskan pelukan itu, keduanya saling bertukar senyum. Dan mereka kembali larut dalam pelukan.
            Ah lihatlah! Ternyata masa mau berdamai dengan mereka. Kasih sayang seorang kakak mampu meluluhkan nurani adiknya. Mentari di atas sana ikut berseri melihat kebahagiaan sederhana itu. Dan hari esok siap menyambut mereka. Selamat tinggal duka, karena semuanya kembali pada jalur yang seharusnya, hidup bahagia.

SELESAI