“Ahrgh! Allah itu ngga adil ma!” Pekik seorang anak laki-laki yang berusia
sekitar 10 tahun itu sembari membanting barang-barang disekitarnya. Wanita yang
mempunyai paras lembut berdiri didekatnya. Memandangnya iba.
Anak laki-laki itu bernama Aldi, Aldi terus menjerit, mengamuk melontarkan
sumpah serapah. Bola matanya yang hitam itu memancarkan harapan dari dalam
lubuk hatinya. Aldi tersungkur rapuh diatas lantai. Nafasnyanya mulai teratur
pasti. Aldi diam seribu bahasa, dia tak lagi menjerit dan melontarkan sumpah
serapahnya lagi.
Wanita yang mempunyai paras lembut tadi menghampirinya, mengusap rambutnya yang
berkeringat dan mengecup keningnya.Tetesan bening mulai mengalir dari kelopak
mata wanita itu, tetesan itu jatuh membasahi pipi Aldi.
“Mama nangis?” Tanya Aldi lembut
“Ngga sayang, Aldi dengarkan mama ya nak. Allah itu Maha adil, Allah sayang
sama Aldi, apa yang Aldi alami sekarang ini adalah ujian dari Allah, jadi Aldi
harus menerimanya dengan lapang dada.” Jelas wanita yang dipanggilnya “mama”
itu.
Aldi bungkam.
Pikirannnya terhempas, terpelanting dan terbenam menuju masa itu. Masa yang
telah mematahkan kedua sayapnya, kecelakaan 5 tahun lalu telah menghancurkan
setiap mimpi-mimpinya. Setiap fragmen hidupnya mulai berubah, gelap tak
berwarna. Tak ada canda dan tawa lagi.
@@@
“Aldi, Aldi!” Panggil mama.
Dengan perlahan Aldi melangkah pasti, menuruni setiap anak tangga. Berjalan
menerusuri setiap ruangan demi ruangan. Tapi sayang, langkah Aldi seperti anak
kecil yang sedang belajar berjalan. Berulang kali dia terjatuh, tersandung dan
terkadang menabrak dinding yang ada di hadapannya. Namun itu tak jadi masalah
baginya, dia sudah terbiasa. Aldi terus berjalan mencari suara sang mama.
`
“Ada apa, ma?” Tanya Aldi. Mama menghamipirinya.
“Ayo ikut mama!” Ajak mama lembut. Dituntunnya tangan Aldi dan mengajaknya
menuju suatu ruangan. Ruanga itu cukup berdebu, usang tak terurus. Jaring
laba-laba menghiasi setiap sudut ruangan. Ruangan tua!
“Duduklah” Pinta mama.
Aldi pun duduk diatas kursi yang sudah tak asing lagi baginya. Matanya
mulai mengerjap-ngerjap, tangannya mulai meraba-raba.
“Ma, ini piano?” Tanya Aldi pelan, “Untuk apa mama ngajak Aldi kesini?”
“Iya itu piano, mama ingin mendengar kamu memainkan piano lagi seperti waktu
itu, mama kangen permainan piano kamu”.
Aldi tersenyum kecil. Tidak, bukan tersenyum seperti biasanya, Aldi tersenyum
pahit.
“Itu dulu ma, apa mama lupa kalau Aldi sekarang ini buta?” Ujar Aldi pasrah.
“Cukup nak, jangan terus menyalahkan keadaan, Aldi apa kamu lupa nasehat ayah
sebelum dia meninggal?”
Nasehat ayah?
Aldi kembali larut pada nostalgia masa lampau yang telah menjadi sejarah pahit
pada prasasti nuraninya. Aldi tertegun. Insiden 5 tahun lalu itu menjadi mimpi
buruk dalam hidupnya. Insiden itu membuat dia harus kehilangan ayah dan
penglihatannya.
“Aldi, keterbatasan bukan akhir dari segalanya! apapun keadaan kamu, kamu harus
tetap punya mimpi”.
Ah nasehat itu !
Rangkain kata itu, tiba-tiba saja terdengar nyaring melewati gendang telingannya.
Senyuman bijak yang tercipta dari raut wajah ayah yang berwibawa itu tiba-tiba
hadir di depan pelupuk matanya.
“Aldi!” Tegur mama.
Aldi terkesiap, tersadar dari lamunannya.
“Iya ma, Aldi ingat” Gumamnya lirih, nyaris hampir tak terdengar.
Perlahan jemarinya menyentuh piano tua itu, nada yang harmoni mulai tercipta.
Setiap alunannya penuh makna. Aldi merasa sangat jauh berberda. Dirinya yang
dulu serasa terlahir kembali. Penglihatannya yang buta ternyarta tak
menghapuskan talenta dalam dirinya.
Kedua mata mama bersinar, terpukau akan permainan Aldi yang begitu profesional.
Setiap jemarinya yang bergerak lincah menggambarkan bahwasannya Aldi menikmati
permainannya. Air mukanya yang semula keruh berubah seketika, dengan senyumanya
yang khas. Hari itu kedua sayapnya yang patah mulai tumbuh.
Mimpi-mimpinya dulu mulai hadir kembali di tengah kehidupannya yang sulit.
@@@
Suara tepuk tangan para penonton bergema meramaikan alua kompetisi musik
Nasional. Suara mikrofon mulai kembali bergeming, pembawa acara memanggil nomor
urut peserta selanjutnya.
Seorang laki-laki muda dengan jas hitamnya melangkah menuju panggung utama.
Laki-laki itu tersenyum ke arah ratusan penonton yang hadir pada kompetisi itu.
Badannya membungkuk untuk memberi hormat lalu duduk ditempat yang telah
disediakkan.
Aula yang semula gempar oleh antusias para penonton mulai hening. Lantunan
irama mulai beralun syahdu, dentingan suara piano terdengar harmoni. Semua mata
terpana, tersihir seketika.
Wanita yang hampir separuh baya itu tersenyum bangga, butiran-butiran bening
sejak tadi terjatuh membasahi kulit pipinya yang menua. Wanita itu menangis
bukan karna dia tengah bersedih, wanita itu menangis bangga.
Dentingan suara disetiap melodi yang tercipta membuatnya bernostalgia dengan
masa lalu. Anak laki-lakinya yang dulu selalu mengamuk, bersumpah serapah tak
karuan, yang dulu kehilangan semangatnya, kini telah tumbuh menjadi pemuda yang
tampan. Anak laki-laki itu kini tampil di hadapannya.
Nada-nada yang tercipta tulus dari nurani akan terdengar lebih harmoni.
Penampilan yang indah itu membuat setiap orang yang hadir takjub dibuatnya. Makna
yang terkandung tersampaikan langsung pada kalbu. Andai dapat dilukiskan dengan
kata mungkin tak akan cukup mengutarakannnya.
Simfoni alunan itu terhenti dengan indah. Suara hening seketika. Laki-laki itu
tersenyum lalu turun meninggalkan panggung. Suara riuh tepuk tangan dan sorak-
sorai penonton mulai terdengar. Mereka puas akan tampilannya.
“Baiklah, tiba saatnya pengumuman kejuaraan“ Kata pembawa acara mengawali
pembicaraannya. Detak jantung para peserta mulai berdetak tak karuan, mungkin
jika setap peserta dipasang pengeras suar dijantungnya detak jantung itu akan
terdengar keras layaknya bom yang menghancurkan kota Hiroshima dan Nagashaki.
“Baik, kita panggil sang juara kita di kompetisi musik Nasional ini, ALDI
SAPUTRA” Pekiknya.
Aula kembali riuh dengan sorak-sorai beserta tepuk tangan penonton. Laki-laki
berajas hitam itu kembali naik keatas panggung. Dia tersenyum bangga. Kedua
sayapnya terbentang lebar. Dengan piala yang telah di genggamnya, Aldi
mengangkat suara, dia mulai berbicara.
“Alhamdulillah,
tak lupa saya ucapkan terimakasih pada orang yang selalu sabar mendidik saya,
yang telah mengajari bahwa keterbatasan yang saya miliki bukan suatu halangan
untuk menjadi juara.” Katanya panjang lebar. Matanya mulai basah, air matanya
sudah mulai tak terbendung lagi.
“Mama, terimakasih!” Ucapnya lirih, tetesan bening itu terus mengalir
membanjiri nuraninya.
Wanita yang mempunyai paras lembut itu datang, menghampiri seraya memeluknya
erat. Air matanya juga ikut terjatuh membasahi pipi Aldi. Tidak! ternyata bukan
hanya mereka saja yang menangis, setiap orang yang hadir di aula itu seakan
terhipnotis. Air mata mereka terjatuh!
Dan pada hari itu, di antara tangis haru datang sebuah keajaiban. Keajaiban
yang musykil bagi manusia, namun tidak untuk Sang Pencipta. Semua insan
menyaksikan bagaimana keajaiban itu tercipta.
Tatkala Aldi menyeka air matanya yang terus mengalir, perlahan dia membuka
matanya. Ah! sungguh, Aldi kini bisa melihat dirinya berada diatas panggung
megah yang dimana ratusan penonton menyaksikannya.
Aldi menoleh.
Senyuman tulus sang mama tercipta dari bibirnya, untuk kedua kalinya dia
memeluk sang mama.
“Mama kau tau? sekarang Aldi bisa melihat” Bisiknya lirih. Sang mama tertegun
karenanya. Ditatapnya leket-lekat anak lelakinya itu.
Kedua alisnya mengerut,
“Aldi nggak lagi bohong kan sama mama?“ Tanya mama tak percaya.
Aldi menggeleng pelan.
“Nggak ma, Aldi serius!“ Jawabnya sembarti menyeringai. Kemudian Aldi berjalan
ke arah para juri, Aldi berdiri di sana, tepat di samping juri yang menilai
penampilannya.
“Lihat ma! Aku berdiri disamping juri yang menilaiku, aku sekarang bisa melihat
lagi!” Pekik Aldi.
Mama masih tertegun. Namun senyuman mama pun mengembang, dan semua orang yang
hadir di aula itu kembali takjub oleh Aldi. Mereka menjadi saksi atas keajaiban
yang baru saja terjadi.
Aldi percaya bahwa mimpi adalah harapan yang tak pernah tidur.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar