Rabu, 31 Desember 2014

sad moment :"(

Rest in Peace, Una ({})



Tasikmlaya, 30th december 2014
What do you feel when a member of your family, or everyone who near with you must leave you go to attend to their God firstly? Sad? Yeah, it’s right! And i felt it for twice mores in my life, i must lost two best friends and they were my best classmate also. Eight month ago i was lossing  a beuty and kind girl, and until this time i’m still regret when she passed away, but i believe she was happy there, besides Allah :) amin
I couldn’t imagine before, I’m never thinking that i will lost my best friend for twice mores. it was Training for Organizing, this agenda was amazing! Everyday always there is a suprise, and truely i don’t let this time ago, because i learned many knowledge here, i got many experiences in this agenda. Togetherness, happiness, i felt it with all of my friends. But Allah has a best scene for us, He took my friend as quickly as possible, it was like a bad dream, why it must be happened? i have a number of dream list with her :) i think i will reach and make them come true with her, but this is the better way for me, she has gotten been a good place beside Allah :) i believe it, she died by good way :)
I will never forget this moment, and this moment learn me something, are : i have to change my bad character to better one, my tommorow day should be better from yesterday, do a positive thing, be a good child and the important i have to prepare it from now, because everyone never know when they will back to their God, May Allah always bless me up :)

Rest in peace, Muna Wafa Fikriyah ({}) May Allah bless you up there, in a good place that Allah has prepared for you, see you in paradise O:)

Minggu, 21 Desember 2014

Filantopi Mama



          “Ahrgh! Allah itu ngga adil ma!” Pekik seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 10 tahun itu sembari membanting barang-barang disekitarnya. Wanita yang mempunyai paras lembut berdiri didekatnya. Memandangnya iba.
            Anak laki-laki itu bernama Aldi, Aldi terus menjerit, mengamuk melontarkan sumpah serapah. Bola matanya yang hitam itu memancarkan harapan dari dalam lubuk hatinya. Aldi tersungkur rapuh diatas lantai. Nafasnyanya mulai teratur pasti. Aldi diam seribu bahasa, dia tak lagi menjerit dan melontarkan sumpah serapahnya lagi.
            Wanita yang mempunyai paras lembut tadi menghampirinya, mengusap rambutnya yang berkeringat dan mengecup keningnya.Tetesan bening mulai mengalir dari kelopak mata wanita itu, tetesan itu jatuh membasahi pipi Aldi.
            “Mama nangis?” Tanya Aldi lembut
            “Ngga sayang, Aldi dengarkan mama ya nak. Allah itu Maha adil, Allah sayang sama Aldi, apa yang Aldi alami sekarang ini adalah ujian dari Allah, jadi Aldi harus menerimanya dengan lapang dada.” Jelas wanita yang dipanggilnya “mama” itu.
            Aldi bungkam.
            Pikirannnya terhempas, terpelanting dan terbenam menuju masa itu. Masa yang telah mematahkan kedua sayapnya, kecelakaan 5 tahun lalu telah menghancurkan setiap mimpi-mimpinya. Setiap fragmen hidupnya mulai berubah, gelap tak berwarna. Tak ada canda dan tawa lagi.
@@@
            “Aldi, Aldi!” Panggil mama.
            Dengan perlahan Aldi melangkah pasti, menuruni setiap anak tangga. Berjalan menerusuri setiap ruangan demi ruangan. Tapi sayang, langkah Aldi seperti anak kecil yang sedang belajar berjalan. Berulang kali dia terjatuh, tersandung dan terkadang menabrak dinding yang ada di hadapannya. Namun itu tak jadi masalah baginya, dia sudah terbiasa. Aldi terus berjalan mencari suara sang mama.
`           “Ada apa, ma?” Tanya Aldi. Mama menghamipirinya.
            “Ayo ikut mama!” Ajak mama lembut. Dituntunnya tangan Aldi dan mengajaknya menuju suatu ruangan. Ruanga itu cukup berdebu, usang tak terurus. Jaring laba-laba menghiasi setiap sudut ruangan. Ruangan tua!
            “Duduklah” Pinta mama.
             Aldi pun duduk diatas kursi yang sudah tak asing lagi baginya. Matanya mulai mengerjap-ngerjap, tangannya mulai meraba-raba.
            “Ma, ini piano?” Tanya Aldi pelan, “Untuk apa mama ngajak Aldi kesini?”
            “Iya itu piano, mama ingin mendengar kamu memainkan piano lagi seperti waktu itu, mama kangen permainan piano kamu”.
            Aldi tersenyum kecil. Tidak, bukan tersenyum seperti biasanya, Aldi tersenyum pahit.
            “Itu dulu ma, apa mama lupa kalau Aldi sekarang ini buta?” Ujar Aldi pasrah.
            “Cukup nak, jangan terus menyalahkan keadaan, Aldi apa kamu lupa nasehat ayah sebelum dia meninggal?”
             Nasehat ayah?
            Aldi kembali larut pada nostalgia masa lampau yang telah menjadi sejarah pahit pada prasasti nuraninya. Aldi tertegun. Insiden 5 tahun lalu itu menjadi mimpi buruk dalam hidupnya. Insiden itu membuat dia harus kehilangan ayah dan penglihatannya.
            “Aldi, keterbatasan bukan akhir dari segalanya! apapun keadaan kamu, kamu harus tetap punya mimpi”.
            Ah nasehat itu !
            Rangkain kata itu, tiba-tiba saja terdengar nyaring melewati gendang telingannya. Senyuman bijak yang tercipta dari raut wajah ayah yang berwibawa itu tiba-tiba hadir di depan pelupuk matanya.
            “Aldi!” Tegur mama.
            Aldi terkesiap, tersadar dari lamunannya.
            “Iya ma, Aldi ingat” Gumamnya lirih, nyaris hampir tak terdengar.
            Perlahan jemarinya menyentuh piano tua itu, nada yang harmoni mulai tercipta. Setiap alunannya penuh makna. Aldi merasa sangat jauh berberda. Dirinya yang dulu serasa terlahir kembali. Penglihatannya yang buta ternyarta tak menghapuskan talenta dalam dirinya.
            Kedua mata mama bersinar, terpukau akan permainan Aldi yang begitu profesional. Setiap jemarinya yang bergerak lincah menggambarkan bahwasannya Aldi menikmati permainannya. Air mukanya yang semula keruh berubah seketika, dengan senyumanya yang khas. Hari itu  kedua sayapnya yang patah mulai tumbuh. Mimpi-mimpinya dulu mulai hadir kembali di tengah kehidupannya yang sulit.
@@@
            Suara tepuk tangan para penonton bergema meramaikan alua kompetisi  musik Nasional. Suara mikrofon mulai kembali bergeming, pembawa acara memanggil nomor urut peserta selanjutnya.
            Seorang laki-laki muda dengan jas hitamnya melangkah menuju panggung utama. Laki-laki itu tersenyum ke arah ratusan penonton yang hadir pada kompetisi itu. Badannya membungkuk untuk memberi hormat lalu duduk ditempat yang telah disediakkan.
            Aula yang semula gempar oleh antusias para penonton mulai hening. Lantunan irama mulai beralun syahdu, dentingan suara piano terdengar harmoni. Semua mata terpana, tersihir seketika.
            Wanita yang hampir separuh baya itu tersenyum bangga, butiran-butiran bening sejak tadi terjatuh membasahi kulit pipinya yang menua. Wanita itu menangis bukan karna dia tengah bersedih, wanita itu menangis bangga.
            Dentingan suara disetiap melodi yang tercipta membuatnya bernostalgia dengan masa lalu. Anak laki-lakinya yang dulu selalu mengamuk, bersumpah serapah tak karuan, yang dulu kehilangan semangatnya, kini telah tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Anak laki-laki itu kini tampil di hadapannya.
            Nada-nada yang tercipta tulus dari nurani akan terdengar lebih harmoni. Penampilan yang indah itu membuat setiap orang yang hadir takjub dibuatnya. Makna yang terkandung tersampaikan langsung pada kalbu. Andai dapat dilukiskan dengan kata mungkin tak akan cukup mengutarakannnya.
            Simfoni alunan itu terhenti dengan indah. Suara hening seketika. Laki-laki itu tersenyum lalu turun meninggalkan panggung. Suara riuh tepuk tangan dan sorak- sorai penonton mulai terdengar. Mereka puas akan tampilannya.
            “Baiklah, tiba saatnya pengumuman kejuaraan“ Kata pembawa acara mengawali pembicaraannya. Detak jantung para peserta mulai berdetak tak karuan, mungkin jika setap peserta dipasang pengeras suar dijantungnya detak jantung itu akan terdengar keras layaknya bom yang menghancurkan kota Hiroshima dan Nagashaki.
            “Baik, kita panggil sang juara kita di kompetisi musik Nasional ini, ALDI SAPUTRA” Pekiknya.
            Aula kembali riuh dengan sorak-sorai beserta tepuk tangan penonton. Laki-laki berajas hitam itu kembali naik keatas panggung. Dia tersenyum bangga. Kedua sayapnya terbentang lebar. Dengan piala yang telah di genggamnya, Aldi mengangkat suara, dia mulai berbicara.
“Alhamdulillah, tak lupa saya ucapkan terimakasih pada orang yang selalu sabar mendidik saya, yang telah mengajari bahwa keterbatasan yang saya miliki bukan suatu halangan untuk menjadi juara.” Katanya panjang lebar. Matanya mulai basah, air matanya sudah mulai tak terbendung lagi.
            “Mama, terimakasih!” Ucapnya lirih, tetesan bening itu terus mengalir membanjiri nuraninya.
            Wanita yang mempunyai paras lembut itu datang, menghampiri seraya memeluknya erat. Air matanya juga ikut terjatuh membasahi pipi Aldi. Tidak! ternyata bukan hanya mereka saja yang menangis, setiap orang yang hadir di aula itu seakan terhipnotis. Air mata mereka terjatuh!
            Dan pada hari itu, di antara tangis haru datang sebuah keajaiban. Keajaiban yang musykil bagi manusia, namun tidak untuk Sang Pencipta. Semua insan menyaksikan bagaimana keajaiban itu tercipta.
            Tatkala Aldi menyeka air matanya yang terus mengalir, perlahan dia membuka matanya. Ah! sungguh, Aldi kini bisa melihat dirinya berada diatas panggung megah yang dimana ratusan penonton menyaksikannya.
            Aldi menoleh.
            Senyuman tulus sang mama tercipta dari bibirnya, untuk kedua kalinya dia memeluk sang mama.
            “Mama kau tau? sekarang Aldi bisa melihat” Bisiknya lirih. Sang mama tertegun karenanya. Ditatapnya leket-lekat anak lelakinya itu.
            Kedua alisnya mengerut,
            “Aldi nggak lagi bohong kan sama mama?“ Tanya mama tak percaya.
            Aldi menggeleng pelan.
            “Nggak ma, Aldi serius!“ Jawabnya sembarti menyeringai. Kemudian Aldi berjalan ke arah para juri, Aldi berdiri di sana, tepat di samping juri yang menilai penampilannya.
            “Lihat ma! Aku berdiri disamping juri yang menilaiku, aku sekarang bisa melihat lagi!” Pekik Aldi.
            Mama masih tertegun. Namun senyuman mama pun mengembang, dan semua orang yang hadir di aula itu kembali takjub oleh Aldi. Mereka menjadi saksi atas keajaiban yang baru saja terjadi.
            Aldi percaya bahwa mimpi adalah harapan yang  tak pernah tidur.[]

Sabtu, 20 Desember 2014

Sebait Rindu

Nostalgia kusam mulai mengebu-gebu...
ingin ku hapus memori itu,
tapi,
sampai detik ini, bayang itu masih ada
terlukis jelas dalam nurani,
senyuman hangat itu,
menyeringai penuh harap...

tatapan tajam itu,
terasa begitu menusuk kalbu,
suara nyaring itu,
masih terngiang dalam daun telinga ini...

sayang,
semuanya lenyap begitu saja !
tak ada harap lagi,
Tuhan ,
bolehkah aku merasakan kembali masa itu?
Tuhan,
bisakah aku mengulang kembali masa itu?
masa dimana ada segelintir canda dan tawa yang mengiringi
tapi Tuhan,
aku tak mau masa itu terkalahkan oleh kelabu
aku tak mau kembali pada masa kelam disana,
aku tau, ini skenario-Mu Tuhan
namun,
sungguh ! aku tak sudi jika nurani suci ini
harus menaruh dendam pada masa lalu,
cukup,
aku hanya ingin waktu kembali bergulir,
dan tak usah ada luka didalamnya

Kelana dalam Mimpi


               Terlalu penat untuk menunggu pelangi hadir . Nampaknya pelangi enggan menghiasi cakrawala biru sore ini, padahal siang tadi bumi telah tersiram oleh rintikkan hujan. Air mukamu muram, tak secerah langit sore hingga kau putuskan untuk pulang ke rumah. Semilir angin sore meniup rambutmu yang hitam legam, menyentuh pipimu dengan manja seakan ingin menghibur kesedihanmu karna pelangi.
              Dalam kebisuanmu, kau pergi tergesa menuju kamar. Ibumu hanya menggelengkan kepala melihat tingkahmu yang tak karuan. Sentimen kecilmu itu terus bertanya. Mengapa pelangi tak hadir? Apakah dia marah padaku karna nilai  ulanganku turun?
               “Ya, pasti pelangi marah padaku!” Gumammu pelan.
              Namun tiba-tiba saja pandanganmu mulai kabur, tatapanmu mulai tak fokus, kunang-kunang terus menari di pelupuk matamu. Tubuh kecilmu perlahan rapuh, lalu tersungkur  diatas kasur tak sadarkan diri. Terlalu penat!
@@@
              Tetesan embun yang menetes pada setiap helaian daun terdengar berirama. Burung-burung bernyanyi dengan penuh harmoni. Mentari tersenyum menyambut hari baru, sinarnya menembus jendela kayu yang terbuka lebar. Membangunkan gadis berambut hitam legam.
              Perlahan matamu terbuka, kau bangkit dari tidurmu yang lelap, berjalan kearah pintu sembari  mengaruk-garuk kepalamu yang tak gatal. Mata jernihmu masih menerawang ke arah pintu. Matamu bersinar seketika. Bibir merahmu mengembang penuh harap.
              “Pelangi yang indah!” Pekikmu girang.
              Sayang, awan hitam enggan membiarkan senyumanmu lebih lama. Awan hitam itu menutup pelangimu yang elok. Kilatan cahaya mulai terdengar menggelegar. Angin berhembus sangat kencang.
              Kau hanya mematung di ambang pintu. Seketika kilatan cahaya itu terlihat jelas tepat di depan retina matamu. Suaranya menggelegar begitu keras. Bibirmu memucat lalu kau masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu rapat-rapat.
              Kau berjalan ke arah cermin berukirkan kayu yang indah. Cermin itu memantulkan siluet wajahmu yang mendung. Kau tertegun karnanya. Ah tidak ! dimana kau sekarang ? bukankah kau tak sadarkan diri di kamarmu? Tapi sekarang kau berada di rumah kayu dank kau sama sekali tak mengenal tempat ini. Bagus ! sekarang kau masuk dalam duniaku !  
              Mata ekormu menagkap seorang putri bergaun putri berwarna biru. Kulitnya putih bersih. Kepalanya berhiaskan mahkota berlian. Di punggungnya sepasang sayap putih berbulu lembut. Kau menoleh dengan keterkejutanmu. Kau tahu ? putri yang kau maksud adalah aku.
              “Kemarilah, Natasya!” Panggilku lembut.
              Kau menghamipiriku sembari menatapku ragu.
              “Siapa kau? Dan dimana aku sekarang?” Tanyamu tak sabar. Aku tersenyum menenangkan.
              “Aku adalah peri biru, tugasku adalah menghukummu, dan sekarang kamu berada di rumah kakek William. Dia akan mengajarimu tentang pelajaran kehidupan”  Jelasku.
              “APA? HUKUMAN?” Teriakmu.”Kau bercanda? Aku tak pernah melakukan kesalahan apapun, bukankah aku selalu berbuat baik kepada orang lain? Dan seharusnya kau tahu peri, semua orang menyukaiku karena aku pintar. Jadi untuk apalagi aku belajar pelajaran kehidupan?” Bantahmu dengan keangkuhanmu. Rupanya tabi’at sombong masih melekat dalam dirimu.
              Aku mendengus pelan.
              “Introspeksi dirilah! Pelangi marah, nilai-nilai ujianmu menurun itu karena sifatmu. Natasya, dengar! Jika kamu ingin kembali ke rumah, jalani hukuman ini dengan sabar dan jangan pernah merendahkan orag lain! Aku akan selalu mengawasimu !” Jelasku.
              Kau hanya diam seribu bahasa. Entah apa yang kau pikirkan dalam sentimen kecilmu itu. Namun aku bisa membaca dari pancaran matamu bahwasannya kau kecewa atas dirimu yang telah membuat paelangi marah.
              Tanpa ba-bi-bu aku segera menghilang dari hadapanmu. Kau terkesiap dari lamunanmu tatkala kakek tua yang hampir di makan usia itu menepuk bahumu. Kakek tua menyeringai tulus padamu.
            “Tenanglah cucuku! Kau hanya perlu mengajari warga desa ini membaca dan berkebun selama 1 bulan!.” Cakap kakek.
            Wajahmu kembali berseri.
              “Hanya itu kek? Itu sih terlalu mudah untuk seorang Natasya Wijaya.” Katamu congkak.
@@@
              Hari pertama kau lewati dengan sikap angkuhmu. Mereka yang tak bisa, kau rendahkan dengan setiap kata yang terlontar dari lisanmu. Sentakkan, cacian memenuhi atmosfir rumah kayu yang kau jadikan tempat mengajar warga desa.
              Aku yakin, mereka tak tahan dengan sikapmu itu. Kau memang keras kepala tak mendengarkan nasehatku. Kakek tua yang ingin mengajarimu berkebun pun, kau usir pergi namun dia tetap tersenyum dan meninggalkanmu.
              Belum juga genap dua minggu, kau menyerah. Termenung menatap langit senja yang mulai terganti oleh malam. Butiran bening itu mengalir membasahi pipimu. Sang Kakek datang menghampirimu.
              “Jangan sedih!” Ujarnya padamu.
              Kau hanya tersenyum simpul. Mulutmu mulai bercakap. Mengeluh akan hukuman yang tengah kau jalani. Kau tanya padanya. Namun dia hanya menatapmu iba. Kakek William itu menasehatimu dengan lembut. Kau tertunduk sembari mendengarkannya dia memberitahumu akan tabi’at sombong yang ada pada dirimu dan menceritakan semua tentangmu.
              “Kenapa tak pernah ada yang menegurku?” Tanyamu.
              “Orang-orang di sekitarmu selalu mengurmu Natasya!  Tapi kau tak pernah mendengarkan mereka dan selalu membela dirimu sendiri!” Pipimu memerah.
              “Iya kek! ini kesalahanku, dan aku janji akan berubah” Katamu mantap.
              Kakek William menyeringai bahagia. Janjimu telah ku pegang. Mulai sejak saat itu semua berubah! Kau ajari warga desa dengan penuh kesabaran. Tak ada lagi cemoohan dan sentakan yang biasa memenuhi atmosfer rumah kayu yang hampir roboh dimakan zaman. Kebun yang kau tanami berbagai macam sayuran kini mulai berbuah.
  Awan hitam yang menutup pelangimu mulai bergeser. Warna-warni indah terlukis jelas di cakrawala.Kau tersenyum bahagia dan penuh pesona. Bibirku ikut mengembang, merasakan kebahagiaan yang nyata dalam dirimu.
@@@
              Sepasang mata itu terbuka. Badan mungil itu masih terbaring lemah di atas kasur. Namun, senyuman bahagia itu terangkum jelas pada wajah gadis itu.Seorang perempuan yang sering dipanggilnya ibu masih setia menunggu.
              Tunggu! Bukankah gadis itu adalah dirimu? Rupanya kau telah kembali keduniamu. Kau memeluk perempuan yang pernah mengandungmu dengan erat. Hangatnya pelukan erat mengalir sampai dasar jiwamu. Aku bisa merasakannya.
              Hari itu, hidup barumu dimulai. Pelajaran kehidupan yang kau dapat di duniaku telah merubahmu. Meski cakrawala gelap tertutup awan hitam, namun tetap terlihat cerah di matamu. Aku yakin kau bahagia dengan perubahanmu itu.