Kamis, 30 April 2015

#jodoh pasti bertamu

Amor yang Tertunda
Oleh, Syauqiya Aina Salasabila
            “Selalu ada cerita terindah yang terangkai tentang cinta, padahal hanya lima kata yang tersusun. Tapi, semua insan di dunia selalu mengagungkan apapun atas nama cinta. Bukankah ia anugrah terindah yang dititipkan Sang Maha Cinta disetiap hati manuusia? Hanya saja manusia melakukan sebagian dari  mereka terkadang merubah anugrah itu menjadi malapetaka hidupnya”.
            Aku tersenyum mengakhiri tulisan ini. Ah, mengerti apa aku tentang cinta sesungguhnya? Padahal rasa abstrak yang selalu meraung dalam nuraniku telah hadir sejak lama, dan mungkin rasa abstrak yang tak rasional ini dinamakan cinta yang selalu dipergunjingkan oleh mereka yang dilanda asmara, mungkin. Tidak! Aku yakin apa yang ku rasa ini benar adanya, bentuk landasan anugrah yang di titipkan Sang Maha Cinta padaku.
            Rembulan malam itu tampak cerah menyinari gelap gulita bersama hamparan gempita bintang-bintang di cakrawala malam. Ia seolah tersenyum padaku di balik jendela kamar. Sedang diriku, duduk termangu di meja belajarku, meratapi diriku yang tak kunjung berpindah ke lain hati. Aku menatap kirana rembulan itu lekat-lekat.
            “Kau tau, wahai rembulan?” aku mulai bercerita. Sang rembulan masih tersenyum hangat dengan sinarnya yang masih benderang dan semilir angin malam ini ikut menggodaku.
            “Rasanya, cinta dimana putih biru dongkerku mulai memudar perlahan. Apakah harus ku akhiri saja penantian ini?”
            Hening. Kirananya masih tetap terang di cakrawala sana.
            “Baiklah, aku akan bertahan” kataku kemudian.
            Meski disudut hati ini ada goresan yang kembali tertoreh, aku mencoba meyakinkan diri in bahwasannya keputusan ini adalah yang terbaik. Ah Rabbi tegarkan nuraniku agar aku benar-benar siap menerima kemungkinan terburuk atas penantian semu ini. Jika memang rasa ini tak akan berlabuh pada akhir penantian ini, tolong lepaskan rasa apapun yang melekat p-ada hati ini. Aku tertunduk, berdo’a atas akhir dari keputusan yanag ku buat.
            Malam semakin larut, sunyi seperti biasa.
@@@
            “Cintaku datang terlambat, Kei”
            Dalam hitungan detik suasana kelas yang hening tak berpenghuni, hanya menyisakkan dua gadis remaja di sudut kelas, yang tengah mencurahkan perasaan mereka masing-masing, kini di penuhi gelak tawa yang menggema. Suara tawa itu kembali terhenti. Seorang gadis dengan tatapan menyelidik menatap diriku iba.
            “Ngga Mia, ku mohon jangan berharap banyak sama Ray, dia cuman mainin kamu aja!” oceh Keila mulai mendoktrinku untuk segera move on dari Ray.
            “Ngga semudah itu” aku balas menatap Keila. Memori tak akan mudah terhapus begitu aja, terlalu banyak kenangan yang terlewat bersamanya. Memang bukanlah memori indah seperti kebanyakan kisah yang ada di romanpicisan sana. Tapi ia mengajariku banyak hal, aku tak akan mungkin menjadi sosok dewasa yang orang kenal sekarang tanpa Ray.
            “Keila diam. Ia merogoh saku roknya, mengeluarkan ponselnya. Jemari lengannya yang lincah memencet tombol-tombol yang tertera.
            “Ikut aku!” tanganku sempurna ditarik oleh Keila dengan sangat keras.
            “Gila kamu! Aku mau dibawa kemana, Kei?” ocehku, yang diajak bicara malah menarik lenganku semakin keras menuju hamparan hijau di belakang sekolah.
            Deg! Ah laki-laki itu! Bahkan dari belakang pun aku masih mampu mengenalinya. Kei melepaskan tanganku, aku mengaduh kesakitan. Laki-laki itu menoleh, ray menatapku dengan tatapan elang miliknya. Namun, ada yang lai pada nuraniku,. Sungguh tak biasanya jantungku yang selalu berdetak keras jika ragaku bertemu dengannya bahkan untuk jarak beberapa meter, tak bereaksi apa-apa. Mungkinkah rasa ini sudah mati?  Entahlah.
            “Mia” Ray tampak menjaga jarak.
            “Kau tau kan, ini bukan waktu yang tepat untuk kita membahas masalah ini, saya punya komitmen yang tak akan mungkin saya langgar, saya tak akan pacaran, dan kamu tau itu kan? Jadi, saya harap kamu mau mengerti” masih dengan mimik angkuhnya, pancaran mata Ray ikut berbicara. Aku mengerti.
            “Dari awal kita berteman dan sampai rasa ini ada, aku ngga pernah menuntut hubungan yang lebih dari teman”
            Aku bungkam. Nuraniku berbisik pelan melanjutkan kalimat yang tadi ku ucapkan. “Aku hanya ingin kamu mau mengerti, menunggu itu tak semudah yang dirimu fikirkan, ada perang pada nurani ini yang setiap saat selalu bergejolak. Tapi, aku selalu berdo’a, meminta pada Sang Maha Kuasa untuk menjadikanmu imam yang akan memimpin dan membimbing keluarga kecilku kelak”. Ray selalu menjadi topik utama yang sering aku perbincangkan dengan Allah di setiap sujudku. Aku tak menuntut lebih atas rasa ini, hanya saja aku ingin rasa ini berlabuh pada jalurnya.
            “Dengarkan kau, Kei? Semuanya udah jelas! Tak ada yang perlu untuk dibahas hubungan saya dengan Mia”tanpa berkata apapun lagi, Ray pergi.
            Masih dalam kebungkamanku, mataku mulai berair, bagai jutaan volt listri menyetrum nuraniku berkali-kali lipat. Kei menyuruhku duduk di atas kursi taman disana. Ia mencoba menenangkan nuraniku yang kalut.
            “Bukan ini yang ku mau, Kei” ujarku lirih, nyaris tak terdengar ditengah isak tangis itu.
            “Aku tau ini ngga mudah buat kamu, udahlah lupain Ray, dia cuman bisa nyakitin hati kamu aja!”
            “Ngga bisa”
            “Mia, kamu berhak bahagia dengan orang yang benar-benar mencintai kamu”
            “Kau tak bisa memaksaku, Kei!” aku mentap Keila penuh harap. Aku baik-baik saja.
            “Ayolah, aku ngga mau sobat aku terpuruk dan dicampakan sama makhluk yang tak pernah peka sama kamu itu!” ocehnya lagi.
            Aku diam dan tertunduk, masih menangis tersedu. Ponselku bergeta, pesan masuk dari nomer baru. ‘Maaf, jika saya lancang ngomong seperti itu sama kamu, bukankah semuanya udah jelas? Dan ngga ada yang perlu dipertanyakan lagi. Rasa ini masih seperti dulu, tak berubah sedikitpun, dan kau tau itu. Percayalah, ini hanya maslah waktu’-Ray .Tangisku terhenti. Aku tau, Ray punya cara tersendiri untuk mententramkan nuraniku. Bukan dengan rayuan atau gombalan seperti kebanyakan teman lelaki yang ku tau. Ray berbeda dengan yang lain.
            Keila memang mengenal Ray. Tapi, ia tak tau bagaimana karakter Ray sesungguhnya. Penantianku pun juga sangat beralasan, aku tak suka menunggu. Dan aku tak akan mungkin menghabiskan waktuku dengan orang yang salah. Aku juga tak bisa memaksakan Ray untuk menyukaiku. Aku tak hanya mengenalnya, aku tau Ray seutuhny, dan mereka tak tau tentang itu. Ray bisa mengubah  catatan buramku menjadi penuh warna dengan sikapnya.
            “Ikhlaskan Ray, Allah akan menjadikan indah pada waktunya” Keila mencoba meyakinkanku sekali lagi. Aku mungkin tak akan mengikhlaskannya begitu saja. Namun, aku juga tak akan terlalu berharap banyak atas rasa ini. Karena aku berulang kali dikecewakan oleh keadaan karena terlalu banyak berharap.
            Aku hanya tersenyum mengiyakan, Keila memeluk erat tubuhku. Dan bel pun berbunyi menyuruh kami untuk segera bergegas pergi ke kelas.
@@@
            Tak ada yang berubah atas rasa ini seja kejadian itu. Waktu yang terus bergulir setiap detiknya tak pernah membuatku membenci sosok itu. Bahkan. Tak ada sesal atas rasa yang dititipkan Allah padaku.
            Bukankah rasa cinta ini normal adanya. Hanya saja kali ini aku sudah mula terbiasa dengan keacuhannya. Aku tak ingin larut dalam keterpurukan. Dan nampaknya nuraniku sebagai wanita untuk jatuh cinta lagi pun mulai mewarnai penantian ini. Sayangnya, Ray malah semakin menjaga jarak padaku. Padahal berita burung tentang hubunganku dengan lelaki yang baru ku kenal di ajang kegiatan pramuka kemarin tak berlangsung lama. Ray memang bukan ksatria idamanku seperti ksatria-ksatria yang selalu ada di negri dongeng, berjuang keras merebut cintanya.
            Tapi, apalah arti rasa baru itu. Jika Ray selalu hadir di setiap mimpi-mimpiku, dengan wajah polosnya di masa biru dongker kala itu. Kini, ia tumbuh dengan pemikirannya yang dewasa. Jika pertemuan itu merupakan takdir Allah, itu artinya Allah punya rencana terindah yang telah disiapkan-Nya.
            Di sela gemericik hujan di luar sana, aku duduk di tempat yang sama saat aku pertama kali menorehkan penaku di atas lembaran kertas, mengisahkan tentang rasa abstrak yang tiba-tiba saja hadir. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar tentunya. Bahkan buku-buku tentang Ray tersusun rapi di atas meja.
            Rintikan hujan masih berlagu di sore ini, dan aku begitu menikmati irama yang tercipta. Dalam simfoni rintikan hujan itu, aku mengenang rasa abstrak yang tak berkuadrat itu. meski rasa itu mulai terbagi oleh rasa yang sama semenjak sepekan lalu. Tapi rasa ini masih tetap tinggal relung hatiku yang lain.
            Langit masih mendung, dan  itu kabar buruk untukku! Aku tak akan menyaksikan senja yang selalu bersinar keemasan. Mataku menerawang jauh di bali kaca jendela, siluet Ray berdiri disana. Aku kembali mentertawakan diriku sendiri yang melihat fatamorgana ini.
            Namun, entah bagaimana fikiran itu tertuju pada hari esok. Ya Rabbi, kenapa aku jadi sebodoh ini/? Aku tak hanya hidup untuk hari ini, tapi juga untuk hari esok. Memikirkan Ray, hanya membuang waktuku dengan percuma. Sial! Semua ini gara-gara Ray, dan dia membuatku hampir gila karena memikirkannya.
            Siluet Ray menghilang begitu saja, langit mulai gelap. Melodi hujan tak senada lagi. Terdengar sedikit mengerikan. Melodi sendu yang tercipta menjadi pengiring lara.
            “Ray, orang yang baik” ujarku lirih.
            Tunggu! Aku lupa sesuatu, bukankah Allah telah menjanjikan sesuatu dalam firman-Nya tentang ini. Lelaki yang baik hanya untuk perempuan yang baik, dan sebaliknya. Aku lupa itu.
@@@
            Setiap mata ini berkedip, setiap nafas ini berhembus, masa akan terus berinkarnasi. Detik menjadi menit, setelah itu jam, kemudian hari, lalu minggu dan masa tak berhenti disana, ia berubah menjadi bulan dan pada akhirnya tahun.
            Kisah ini mungkin tak berakhir dengan semestinya seperti kebanyakan kisah yang lain. Karna sampai detik ini juga, aku masih belajar memeperbaiki diri, memantaskan raga ini di hadapan-Nya.
            Masa depanku masih panjang, maka ku putuskan untuk menitipkan kembali rasa ini kepada yang memberikan-Nya.
            Jika memang Allah menakdirkan ia berjodoh denganku. Seberat apaun halangan itu, pada masanya nanti, ia pasti akan datang menemui kedua orang tuaku dan mengucpkan janji sucinya dihadapanku.
            Ini hanyalah maslah waktu []
Selesai