Amor yang Tertunda
Oleh, Syauqiya Aina Salasabila
“Selalu ada
cerita terindah yang terangkai tentang cinta, padahal hanya lima kata yang
tersusun. Tapi, semua insan di dunia selalu mengagungkan apapun atas nama cinta.
Bukankah ia anugrah terindah yang dititipkan Sang Maha Cinta disetiap hati
manuusia? Hanya saja manusia melakukan sebagian dari mereka terkadang merubah anugrah itu menjadi
malapetaka hidupnya”.
Aku tersenyum
mengakhiri tulisan ini. Ah, mengerti apa aku tentang cinta sesungguhnya?
Padahal rasa abstrak yang selalu meraung dalam nuraniku telah hadir sejak lama,
dan mungkin rasa abstrak yang tak rasional ini dinamakan cinta yang selalu
dipergunjingkan oleh mereka yang dilanda asmara, mungkin. Tidak! Aku yakin apa
yang ku rasa ini benar adanya, bentuk landasan anugrah yang di titipkan Sang
Maha Cinta padaku.
Rembulan malam itu
tampak cerah menyinari gelap gulita bersama hamparan gempita bintang-bintang di
cakrawala malam. Ia seolah tersenyum padaku di balik jendela kamar. Sedang
diriku, duduk termangu di meja belajarku, meratapi diriku yang tak kunjung
berpindah ke lain hati. Aku menatap kirana rembulan itu lekat-lekat.
“Kau tau, wahai
rembulan?” aku mulai bercerita. Sang rembulan masih tersenyum hangat dengan
sinarnya yang masih benderang dan semilir angin malam ini ikut menggodaku.
“Rasanya, cinta
dimana putih biru dongkerku mulai memudar perlahan. Apakah harus ku akhiri saja
penantian ini?”
Hening. Kirananya
masih tetap terang di cakrawala sana.
“Baiklah, aku akan
bertahan” kataku kemudian.
Meski disudut hati
ini ada goresan yang kembali tertoreh, aku mencoba meyakinkan diri in
bahwasannya keputusan ini adalah yang terbaik. Ah Rabbi tegarkan nuraniku agar
aku benar-benar siap menerima kemungkinan terburuk atas penantian semu ini.
Jika memang rasa ini tak akan berlabuh pada akhir penantian ini, tolong
lepaskan rasa apapun yang melekat p-ada hati ini. Aku tertunduk, berdo’a atas
akhir dari keputusan yanag ku buat.
Malam semakin
larut, sunyi seperti biasa.
@@@
“Cintaku datang
terlambat, Kei”
Dalam hitungan
detik suasana kelas yang hening tak berpenghuni, hanya menyisakkan dua gadis
remaja di sudut kelas, yang tengah mencurahkan perasaan mereka masing-masing,
kini di penuhi gelak tawa yang menggema. Suara tawa itu kembali terhenti.
Seorang gadis dengan tatapan menyelidik menatap diriku iba.
“Ngga Mia, ku
mohon jangan berharap banyak sama Ray, dia cuman mainin kamu aja!” oceh Keila
mulai mendoktrinku untuk segera move on dari Ray.
“Ngga semudah itu”
aku balas menatap Keila. Memori tak akan mudah terhapus begitu aja, terlalu
banyak kenangan yang terlewat bersamanya. Memang bukanlah memori indah seperti
kebanyakan kisah yang ada di romanpicisan sana. Tapi ia mengajariku banyak hal,
aku tak akan mungkin menjadi sosok dewasa yang orang kenal sekarang tanpa Ray.
“Keila diam. Ia
merogoh saku roknya, mengeluarkan ponselnya. Jemari lengannya yang lincah
memencet tombol-tombol yang tertera.
“Ikut aku!”
tanganku sempurna ditarik oleh Keila dengan sangat keras.
“Gila kamu! Aku
mau dibawa kemana, Kei?” ocehku, yang diajak bicara malah menarik lenganku
semakin keras menuju hamparan hijau di belakang sekolah.
Deg! Ah laki-laki
itu! Bahkan dari belakang pun aku masih mampu mengenalinya. Kei melepaskan
tanganku, aku mengaduh kesakitan. Laki-laki itu menoleh, ray menatapku dengan
tatapan elang miliknya. Namun, ada yang lai pada nuraniku,. Sungguh tak
biasanya jantungku yang selalu berdetak keras jika ragaku bertemu dengannya
bahkan untuk jarak beberapa meter, tak bereaksi apa-apa. Mungkinkah rasa ini
sudah mati? Entahlah.
“Mia” Ray tampak
menjaga jarak.
“Kau tau kan, ini
bukan waktu yang tepat untuk kita membahas masalah ini, saya punya komitmen
yang tak akan mungkin saya langgar, saya tak akan pacaran, dan kamu tau itu
kan? Jadi, saya harap kamu mau mengerti” masih dengan mimik angkuhnya, pancaran
mata Ray ikut berbicara. Aku mengerti.
“Dari awal kita
berteman dan sampai rasa ini ada, aku ngga pernah menuntut hubungan yang lebih
dari teman”
Aku bungkam.
Nuraniku berbisik pelan melanjutkan kalimat yang tadi ku ucapkan. “Aku hanya
ingin kamu mau mengerti, menunggu itu tak semudah yang dirimu fikirkan, ada
perang pada nurani ini yang setiap saat selalu bergejolak. Tapi, aku selalu
berdo’a, meminta pada Sang Maha Kuasa untuk menjadikanmu imam yang akan
memimpin dan membimbing keluarga kecilku kelak”. Ray selalu menjadi topik
utama yang sering aku perbincangkan dengan Allah di setiap sujudku. Aku tak
menuntut lebih atas rasa ini, hanya saja aku ingin rasa ini berlabuh pada
jalurnya.
“Dengarkan kau,
Kei? Semuanya udah jelas! Tak ada yang perlu untuk dibahas hubungan saya dengan
Mia”tanpa berkata apapun lagi, Ray pergi.
Masih dalam
kebungkamanku, mataku mulai berair, bagai jutaan volt listri menyetrum nuraniku
berkali-kali lipat. Kei menyuruhku duduk di atas kursi taman disana. Ia mencoba
menenangkan nuraniku yang kalut.
“Bukan ini yang ku
mau, Kei” ujarku lirih, nyaris tak terdengar ditengah isak tangis itu.
“Aku tau ini ngga
mudah buat kamu, udahlah lupain Ray, dia cuman bisa nyakitin hati kamu aja!”
“Ngga bisa”
“Mia, kamu berhak
bahagia dengan orang yang benar-benar mencintai kamu”
“Kau tak bisa
memaksaku, Kei!” aku mentap Keila penuh harap. Aku baik-baik saja.
“Ayolah, aku ngga mau
sobat aku terpuruk dan dicampakan sama makhluk yang tak pernah peka sama kamu
itu!” ocehnya lagi.
Aku diam dan
tertunduk, masih menangis tersedu. Ponselku bergeta, pesan masuk dari nomer
baru. ‘Maaf, jika saya lancang ngomong seperti itu sama kamu, bukankah
semuanya udah jelas? Dan ngga ada yang perlu dipertanyakan lagi. Rasa ini masih
seperti dulu, tak berubah sedikitpun, dan kau tau itu. Percayalah, ini hanya
maslah waktu’-Ray .Tangisku terhenti. Aku tau, Ray punya cara tersendiri
untuk mententramkan nuraniku. Bukan dengan rayuan atau gombalan seperti
kebanyakan teman lelaki yang ku tau. Ray berbeda dengan yang lain.
Keila memang
mengenal Ray. Tapi, ia tak tau bagaimana karakter Ray sesungguhnya. Penantianku
pun juga sangat beralasan, aku tak suka menunggu. Dan aku tak akan mungkin
menghabiskan waktuku dengan orang yang salah. Aku juga tak bisa memaksakan Ray
untuk menyukaiku. Aku tak hanya mengenalnya, aku tau Ray seutuhny, dan mereka
tak tau tentang itu. Ray bisa mengubah
catatan buramku menjadi penuh warna dengan sikapnya.
“Ikhlaskan Ray,
Allah akan menjadikan indah pada waktunya” Keila mencoba meyakinkanku sekali
lagi. Aku mungkin tak akan mengikhlaskannya begitu saja. Namun, aku juga tak
akan terlalu berharap banyak atas rasa ini. Karena aku berulang kali
dikecewakan oleh keadaan karena terlalu banyak berharap.
Aku hanya
tersenyum mengiyakan, Keila memeluk erat tubuhku. Dan bel pun berbunyi menyuruh
kami untuk segera bergegas pergi ke kelas.
@@@
Tak ada yang
berubah atas rasa ini seja kejadian itu. Waktu yang terus bergulir setiap
detiknya tak pernah membuatku membenci sosok itu. Bahkan. Tak ada sesal atas
rasa yang dititipkan Allah padaku.
Bukankah rasa
cinta ini normal adanya. Hanya saja kali ini aku sudah mula terbiasa dengan
keacuhannya. Aku tak ingin larut dalam keterpurukan. Dan nampaknya nuraniku
sebagai wanita untuk jatuh cinta lagi pun mulai mewarnai penantian ini.
Sayangnya, Ray malah semakin menjaga jarak padaku. Padahal berita burung
tentang hubunganku dengan lelaki yang baru ku kenal di ajang kegiatan pramuka
kemarin tak berlangsung lama. Ray memang bukan ksatria idamanku seperti
ksatria-ksatria yang selalu ada di negri dongeng, berjuang keras merebut
cintanya.
Tapi, apalah arti
rasa baru itu. Jika Ray selalu hadir di setiap mimpi-mimpiku, dengan wajah
polosnya di masa biru dongker kala itu. Kini, ia tumbuh dengan pemikirannya
yang dewasa. Jika pertemuan itu merupakan takdir Allah, itu artinya Allah punya
rencana terindah yang telah disiapkan-Nya.
Di sela gemericik
hujan di luar sana, aku duduk di tempat yang sama saat aku pertama kali
menorehkan penaku di atas lembaran kertas, mengisahkan tentang rasa abstrak
yang tiba-tiba saja hadir. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar tentunya.
Bahkan buku-buku tentang Ray tersusun rapi di atas meja.
Rintikan hujan
masih berlagu di sore ini, dan aku begitu menikmati irama yang tercipta. Dalam
simfoni rintikan hujan itu, aku mengenang rasa abstrak yang tak berkuadrat itu.
meski rasa itu mulai terbagi oleh rasa yang sama semenjak sepekan lalu. Tapi
rasa ini masih tetap tinggal relung hatiku yang lain.
Langit masih
mendung, dan itu kabar buruk untukku!
Aku tak akan menyaksikan senja yang selalu bersinar keemasan. Mataku menerawang
jauh di bali kaca jendela, siluet Ray berdiri disana. Aku kembali mentertawakan
diriku sendiri yang melihat fatamorgana ini.
Namun, entah
bagaimana fikiran itu tertuju pada hari esok. Ya Rabbi, kenapa aku jadi sebodoh
ini/? Aku tak hanya hidup untuk hari ini, tapi juga untuk hari esok. Memikirkan
Ray, hanya membuang waktuku dengan percuma. Sial! Semua ini gara-gara Ray, dan
dia membuatku hampir gila karena memikirkannya.
Siluet Ray
menghilang begitu saja, langit mulai gelap. Melodi hujan tak senada lagi.
Terdengar sedikit mengerikan. Melodi sendu yang tercipta menjadi pengiring
lara.
“Ray, orang yang
baik” ujarku lirih.
Tunggu! Aku lupa
sesuatu, bukankah Allah telah menjanjikan sesuatu dalam firman-Nya tentang ini.
Lelaki yang baik hanya untuk perempuan yang baik, dan sebaliknya. Aku lupa itu.
@@@
Setiap mata ini berkedip,
setiap nafas ini berhembus, masa akan terus berinkarnasi. Detik menjadi menit,
setelah itu jam, kemudian hari, lalu minggu dan masa tak berhenti disana, ia
berubah menjadi bulan dan pada akhirnya tahun.
Kisah ini mungkin
tak berakhir dengan semestinya seperti kebanyakan kisah yang lain. Karna sampai
detik ini juga, aku masih belajar memeperbaiki diri, memantaskan raga ini di
hadapan-Nya.
Masa depanku masih
panjang, maka ku putuskan untuk menitipkan kembali rasa ini kepada yang
memberikan-Nya.
Jika memang Allah
menakdirkan ia berjodoh denganku. Seberat apaun halangan itu, pada masanya
nanti, ia pasti akan datang menemui kedua orang tuaku dan mengucpkan janji
sucinya dihadapanku.
Ini hanyalah
maslah waktu []
Selesai